Harga minyak terpuruk sepanjang dua sesi trading hari Jumat ini (24/6), anjlok sekitar 6 persen (lebih dari $3) intraday. Keputusan mayoritas rakyat Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa meningkatkan kekhawatiran akan terjadinya perlambatan ekonomi secara luas dimana permintaan akan minyak diperkirakan akan mengalami tekanan. Saat berita ini diangkat, Brent diperdagangkan pada kisaran $48.55, sedangkan WTI di sekitar $47.79 per barel.
Victor Shum, analis perminyakan di IHS, mengatakan pada Reuters, "Sementara ini, semuanya turun mulai dari saham hingga minyak. Buruknya ekonomi di Inggris dan Eropa tak bagus bagi minyak, dan akan ada efek domino pada perekonomian lainnya di Asia."
Para analis pun menyatakan harga minyak bisa mengalami tekanan lebih berat ke arah bawah. Hans van Clef dari ABN Amro Amsterdam mengatakan, "Hari ini, semuanya adalah soal sentimen dan semua orang bertanya-tanyaakan ada apa lagi berikutnya?...Akan menarik (memantau) bagaimana kita akan bertrading pekan depan, karena pada saat itu efek pertama telah berlalu dan pada suatu titik, pasar semestinya kembali memandang fundamental lagi."
Dan bila pasar telah kembali berfokus pada fundamental, maka ada kemungkinan harga minyak akan kembali merosot. Pasalnya, terdapat banyak sinyal bahwa penyusutan suplai minyak dunia berlangsung dengan lambat. Memang terjadi banyak gangguan produksi seperti yang terjadi di Nigeria. Akan tetapi, Timur Tengah dan Amerika Serikat masih menggenjot produksi dengan kekuatan penuh.
Nanti malam, Baker Hughes akan merilis data pekanan jumlah oil rigs di Amerika Serikat. Angka dalam data tersebut telah meningkat dalam tiga pekan terakhir, dan pasar akan memantau apakah angkanya masih terus melaju. Mengingat penurunan persediaan minyak mentah yang lambat di negeri Paman Sam, maka peningkatan oil drilling rigs bisa menjadi sinyal bearish yang cukup kuat bagi WTI.
0 komentar:
Posting Komentar