%2B40811Saksi-Anas-110814-wpa-2.jpg)
"Saya
simpan uang di almari, anak tidak boleh buka, terutama sejak 1998 waktu
itu saya untung banyak kebetulan baru beli dolar dan melejit," kata
Attabik saat menjadi saksi di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis malam.
Dalam
dakwaan Anas, jaksa KPK menduga Anas melakukan tindak pidana pencucian
uang dengan membeli dua bidang tanah seluas 200 meter persegi dan 7.870
meter persegi di Jl. DI Panjaitan No.57 dan No.139 Mantrijeron
Yogyakarta senilai Rp15,74 miliar yang diatasnamakan Attabik Ali.
"Saya beli tanah itu sekitar 1 juta dolar lebih sekian, lainnya ditambah uang rupiah dan emas," jawab Attabik.
Attabik mengaku suka mengumpulkan uang dan kemudian menukarkannya dengan dolar AS.
Namun
Attabik tidak punya bukti penukaran uang yang dilakukan oleh seorang
bernama Sulaiman sejak 1989 hingga 2012. Sulaiman meninggal dunia pada
2012.
"Tidak ada bukti (pembelian), yang beli Sulaiman itu, saya hanya percaya saja," tambah Attabik.
"Bapak jujur saja, apakah yang 1 juta dolar itu dari terdakwa atau tidak?" tanya ketua majelis hakim Haswandi.
"Sama
sekali tidak, wong saya justru malah ngasih," jawab Attabik yang datang
ke persidangan dengan menggunakan kursi roda karena sakit sejak 2012.
"Bukan
1 juta dolar AS dari terdakwa lalu karena tanah bagus jadi ditambah?
Sehingga dolar dari terdakwa, rupiah dari bapak?" tanya Haswandi lagi.
"Dolar dari saya, rupiah dari saya, tanah juga dari saya," jawab Attabik.
"Tanah
itu saya beli dengan 4 macam barang, satu tukeran tanah itu seluas
1.100 meter persegi, kemudian kedua saya jualkan tanah di dua tempat,
kemudian dibayar dengan emas batangan, kemudian dibeli dengan uang dolar
dan uang rupiah," ungkap Attabik.
Attabik mengaku ia sendiri yang melakukan pembayaran sebelum dirinya sakit.
Rinciannya
adalah pada 13 Juli 2011 uang 184 ribu dolar AS dan Rp5,4 juta, pada 14
Juli 2011 tercatat 1,19 juta dolar AS dan 14 Agustus 2011 sebesar 290
ribu dolar AS ditambah emas sebesar 2 ribu gram.
"Kenapa tidak lewat transfer bank?" tanya jaksa KPK Yudi Kristiana.
"Saya
berhubungan dengan bank saya batasi untuk urusan yang kecil-kecil saja,
ratusan juta rupiah juga ke bawah karena tahun 1967 uang saya pernah
masukkan ke bank semua tiba-tiba bank itu gagal bayar sehingga habislah
saya, jatuh miskinlah saya," ungkap Attabik.
Attabik
juga menunjukkan bukti bahwa pesantrennya sering disumbang oleh
sejumlah orang seperti mantan Menpora Andi Mallarangeng sebesar Rp100
juta, mantan Presiden Soeharto saat lengser sebanyak Rp1 miliar hingga
duta besar Bangladesh dan ulama dari Amerika Serikat.
Anas
dalam perkara ini diduga menerima "fee" sebesar 7-20 persen dari Permai
Grup yang berasal dari proyek-proyek yang didanai APBN dalam bentuk 1
unit mobil Toyota Harrier senilai Rp670 juta, 1 unit mobil Toyota
Vellfire seharga Rp735 juta, kegiatan survei pemenangan Rp478,6 juta dan
uang Rp116,52 miliar dan 5,26 juta dolar AS dari berbagai proyek.
Uang
tersebut digunakan untuk membayar hotel-hotel tempat menginap para
pendukung Anas saat kongres Partai Demokrat di Bandung, pembiayaan posko
tim relawan pemenangan Anas, biaya pertemuan Dewan Pimpinan Cabang
(DPC) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan pemberian uang saku kepada
DPC, uang operasional dan "entertainment".
Kemudian
biaya pertemuan tandingan dengan Andi Mallarangeng, road show Anas dan
tim sukesesnya pada Maret-April 2010, deklarasi pencalonan Anas sebagai
calon ketua umum di Hotel Sultan, biaya "event organizer", siaran
langsung beberapa stasiun TV, pembelian telepon selular merek
Blackberry, pembuatan iklan layanan masyarakat dan biaya komunikasi
media.
Anas juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU harta kekayaannya hingga mencapai Rp23,88 miliar. (D017/T007)
Editor: B Kunto Wibisono
0 komentar:
Posting Komentar