Jumat, 01 Juli 2016

Harga minyak turun di Asia jelang laporan energi AS

Harga minyak menurun di Asia pada Kamis, karena para pedagang fokus terhadap laporan energi AS mendatang untuk petunjuk tentang produksi dan permintaan di konsumen utama minyak mentah dunia itu di tengah pasokan global yang berlimpah.

Patokan AS, minyak mentah light sweet atau West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Oktober turun 13 sen menjadi 44,02 dolar AS per barel, sementara minyak mentah Brent untuk pengiriman Oktober turun 32 sen menjadi 47,26 dolar AS per barel di perdagangan sore.

"Kami telah melihat tingkat produksi AS melambat dalam beberapa pekan terakhir, dan angka mereka berikutnya akan menjadi fokus bagi investor untuk mencari jawaban atas masalah kelebihan pasokan," Ric Spooner, kepala analis pasar di CMC Markets di Sydney, mengatakan kepada AFP.

Departemen Energi AS (DoE) akan merilis laporan mingguan pada Kamis, sehari lebih lambat dari biasanya karena Senin merupakan libur Hari Buruh.

Para analis memperkirakan persediaan minyak mentah komersial naik 250.000 barel dalam pekan yang berakhir 4 September, menurut survei Bloomberg News.

Pada saat yang sama, DoE memperkirakan dalam sebuah laporan baru pada Rabu bahwa produksi minyak mentah AS akan menurun hingga pertengahan tahun depan dalam menanggapi harga yang rendah, sebelum meningkat lagi pada akhir 2016 karena harapan pemulihan dalam harga.

Produksi minyak mentah AS turun 140.000 barel per hari pada Agustus dari Juli. Pemerintah menurunkan perkiraan produksinya untuk 2015 menjadi 9,2 juta barel per hari, 100.000 barel lebih rendah dari perkiraan bulan lalu.

Meski begitu, total produksi AS tahun ini diperkirakan akan menjadi yang tertinggi sejak 1972.

Investor juga mengawasi rencana Federal Reserve untuk suku bunganya ketika para pembuat kebijakan bank mengadakan pertemuan pekan depan, dengan spekulasi mereka bisa mengumumkan kenaikan.

Sebuah kenaikan suku bunga pinjaman kemungkinan akan mendongkrak dolar, dan karena minyak mentah dihargakan dalam greenback, itu akan membuat komoditas lebih mahal bagi siapa pun yang memegang mata uang lemah, sehingga mengurangi permintaan, demikian AFP melaporkan.



0 komentar:

Posting Komentar