Harga minyak mentah berjangka nampak mulai bergairah setelah akhir pekan lalu Amerika Serikat melaporkan bahwa pertumbuhan ekonominya di kuartal II/2016 mengecewakan. Hari ini (1/8), perbaikan laporan indeks sentimen bisnis China turut menopang harga komoditas emas hitam ini, tetapi kecemasan tentang limpahan surplus masih membayangi.
Di New York Mercantile Exchange (NYMEX), harga minyak WTI berada di kisaran $41.75, sekitar setengah dolar lebih tinggi ketimbang harganya di sesi Asia hari Jumat. Demikian pula harga acuan internasional Brent saat ini sudah merangkak naik kembali ke $43.70 per barel.
Dolar AS Roboh Akibat Lambatnya Pertumbuhan
Ekonomi Amerika Serikat pada kuartal II/2016 tercatat hanya membukukan pertumbuhan sebesar 1.2%, jauh di bawah ekspektasi 2.6% dan hanya naik sedikit dari pencapaian kuartal I sebesar 1.1%. Akibatnya, Dolar AS terhantam. Indeks Dolar AS yang merekam kekuatannya terhadap 6 mata uang lain pun roboh dari 96.739 di hari Kamis menjadi 95.530 saja di hari Jumat. Hingga saat berita ini diangkat, indeks tersebut belum beranjak dari kisaran 95an.
Sebelumnya, analis dari bank investasi kawakan Goldman Sachs mengindikasikan bahwa karena tingginya ketidakpastian terkait keseimbangan supply dan demand di pasar minyak sekarang, maka outlook harga minyak jangka pendek pada akhirnya akan lebih digerakkan oleh Dolar AS, mata uang dengan mana komoditas ini diperdagangkan, dibanding oleh fundamentalnya. Situasi saat ini agaknya memperkuat indikasi tersebut.
Di sisi lain, data-data terkait sentimen bisnis China yang dirilis tadi pagi menunjukkan sinyal beragam. Indeks PMI Manufaktur Caixin bulan Juli melonjak ke 50.6 dari 48.6 di bulan Juni, meskipun indeks PMI Manufaktur versi pemerintah tergelincir ke 49.9 dari level ekspansi 50 dimana angka indeks berada di bulan sebelumnya.
Limpahan Surplus Minyak Masih Mencemaskan
Positifnya data dari salah satu negeri konsumen minyak terbesar dunia tersebut sedikit meredakan kerisauan di sisidemand minyak, tetapi belum mampu mengentaskan kecemasan akan limpahan surplus.
Sebagaimana dikutip Reuters, analis dari ANZ Bank mengatakan, "Harga minyak naik hari ini, tetapi nampak rapuh karena kekhawatiran tentang oversupply."
Senada dengan itu, pakar dari bank investasi kawakan Barclays mengungkapkan, "Pertumbuhan demand masih lesu dan belum menunjukkan perkembangan signifikan dalam mengurangi kelebihan persediaan minyak (inventori)... Dengan gambaran makroekonomi yang memburuk dan Arab Saudi yang kemungkinan takkan menunjukkan pengendalian diri (dalam menggenjot produksi)..."
Arab Saudi dilaporkan telah memangkas harga minyak light crude-nya untuk pengiriman September bagi wilayah Asia sebanyak $1.30 per barel. Sementara itu, produksi OPEC diproyeksikan mencapai level tertinggi sepanjang masa pada bulan Juli, naik dari 33.31 juta bph menjadi 33.41 juta bph, karena tingginya ekspor Irak.
Tak mau kalah, para produsen minyak di Amerika Serikat pekan lalu kembali membuka sumur-sumur pengeborannya. Pada hari Jumat, Baker Hughes melaporkan bahwa jumlah oil rigs meningkat lagi dari 371 jadi 374. Ini merupakan kenaikan jumlah rig count untuk pekan kelima berturut-turut.