Jakarta (ANTARA News) - "Proyeknya 24 jam penuh, bahkan kami yang setiap hari di sini tidak sadar tahu-tahu sudah berbentuk pulaunya," ucap Rudi Hartono (38) kepada Antara.
Dia menunjuk salah satu pulau reklamasi yang terlihat dari Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.
Rudi adalah salah satu dari ratusan nelayan tradisional di Muara
Angke yang kini nasibnya tidak karuan akibat pembangunan 17 pulau buatan
itu.
Pulau-pulau reklamasi yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari
pantai telah menjauhkan ikan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
"Dulu kita lewat sedikit dari pulau buatan masih bisa dapat ikan,
setelah ada pulau itu kita harus melaut lebih jauh. Biaya solar habis
banyak, begitu pula perbekalan makan, sedangkan penghasilan tidak ada,"
ungkap Rudi.
Semakin keruhnya air laut oleh pasir dan material pembangunan pulau
diyakini menjadi penyebab utama berkurangnya hasil tangkapan para
nelayan hingga lebih dari 50 persen.
Jika sebelum reklamasi Rudi dan rekan-rekannya bisa menjaring dua
hingga tiga ton ikan dalam sehari, kini mereka hanya mampu membawa
pulang satu atau dua kuintal ikan.
"Dulu per orang bisa dapat Rp200 ribu atau sedikitnya Rp150 ribu
sekali melaut, sekarang paling hanya kebagian Rp25 ribu sampai Rp50 ribu
karena satu perahu kami diisi 30 nelayan," katanya.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Kasirin (60), seorang nelayan yang telah akrab dengan perairan utara Jakarta sejak 1970-an.
"Dulu sekali melaut bisa dapat dua ton ikan tembang atau ikan
kembung, kalau sekarang hanya dapat dua basket sekitar 80 kilogram
sampai satu kuintal," ujarnya
Sementara dari sisi penghasilan, sebelum pelaksanaan reklamasi ia
dan rekan-rekan satu perahu bisa menjual ikan hingga Rp25-Rp50 juta,
kini mereka hanya mengantongi sekitar Rp4 juta-Rp5 juta.
Ia pun mengeluhkan semakin jauh jarak yang harus ditempuh para
nelayan untuk mendapat ikan karena kapal mereka harus memutari
pulau-pulau buatan tersebut.
"Apalagi ini tiga hari belum ada penghasilan. Uang yang didapat dari
hasil menjual ikan dipakai untuk makan dan membeli solar, jadi ABK
belum dapat uang," ungkap Kasirin dengan raut muka murung.
Karena pendapatan yang terus berkurang, kata dia, maka beberapa anak
buah kapal mulai berpikir untuk pulang ke kampung halaman mereka
masing-masing.
"Anak-anak ini sudah ingin pulang, mereka sebagian besar berasal dari Brebes," tuturnya.
Dulu gampangWakil Ketua Forum Kerukunan Masyarakat Nelayan
Muara Angke Sugiyanto mengakui berbagai kegiatan nelayan di sekitar
tempat tinggalnya berkurang sejak 2012 atau sejak proyek reklamasi
mencuat.
"Dulu kalau ke pulau gampang, sekarang tidak bisa. Tidak bisa bikin
ternak kerang ijo lagi karena hancur akibat proyek Pulau G, kapal juga
tidak bisa masuk," ungkapnya.
Nelayan di Muara Angke dan sekitaran Teluk Jakarta mencari hasil
laut dengan perahu cumi, perahu rampus, dan bagan tancap. Namun, kata
Sugiyanto, proyek reklamasi mengurangi kegiatan melaut para nelayan.
"Kawasan Jakarta Utara ditutup, bagaimana kapal bisa masuk. Bohong
kalau (reklamasi) tidak berdampak pada nelayan," ucapnya, dengan nada
tinggi.
NegatifReklamasi atau kegiatan untuk meningkatkan manfaat
sumber daya lahan dengan pengurukan dan pengeringan lahan telah
dilakukan di Ibu Kota sejak 1980-an.
Beberapa contoh wilayah yang merupakan hasil reklamasi yakni
permukiman mewah Pantai Mutiara, kawasan industri dan rekreasi Ancol,
serta permukiman mewah dan bangunan komersial Pantai Indah Kapuk.
Meskipun menuai pro dan kontra, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
terus menjalankan program perluasan daratan tersebut dengan
mengedepankan keuntungan ekonomi.
Namun dari sisi lingkungan, pakar Oseanografi dari Institut
Pertanian Bogor (IPB) Alan Koropitan mencatat beberapa dampak negatif
reklamasi seperti peningkatan sedimentasi (pengendapan material)
sehingga berpotensi banjir, penurunan kualitas air akibat logam berat
dan bahan organik yang berdampak pada kematian ikan dan penurunan
kecepatan arus sehingga proses sirkulasi air tidak berjalan dengan
lancar.
"Kematian ikan karena pengaruh logam berat dan bahan organik,
terjadi penurunan arus sehingga material yang masuk dari sungai
cenderung tertahan di situ (teluk)," katanya.
Bahkan reklamasi pulau di Teluk Jakarta terbukti tidak layak menurut
dokumen dari Danish Hydraulic Institute (DHI), sebuah konsultan
peneliti sumber daya air yang dipekerjakan oleh Kementerian Lingkungan
Hidup pada 2012 untuk mengecek analisis dampak lingkungan (amdal) proyek
tersebut.
Selain itu, Alan juga menggarisbawahi dampak reklamasi secara sosial
yakni ribuan nelayan dan anak buah kapal yang harus direlokasi serta
potensi timbulnya konflik.
"Kalau nelayan mau ke Pulau Seribu nanti ada konflik dengan
masyarakat lokal. Sedangkan jika direlokasi ke 17 pulau reklamasi nanti
ada kesenjangan karena pulau itu kan ditujukan untuk daerah elite,"
ungkapnya.
Menteri pun keberatanSementara itu, Menteri Kelautan dan
Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti menyatakan keberatannya kepada Pemprov
DKI jika nelayan hanya diberi ganti rugi berupa rumah susun tanpa
memikirkan kelangsungan mata pencaharian mereka.
"Di pesisir ada stakeholders yaitu para nelayan, mereka punya mata
pencaharian. Kalau depan pantai ditutup dengan pulau-pulau lalu mereka
akan ke mana? Ini harus jadi pertimbangan," tuturnya.
Kecaman penghentian proyek reklamasi Teluk Jakarta terus muncul dari
berbagai organisasi masyarakat karena pembangunan tersebut dianggap
merugikan lingkungan dan masyarakat pesisir.
Terkuaknya dugaan korupsi yang membuka keterlibatan legislatif,
swasta, dan tidak menutup kemungkinan eksekutif itu, dinilai Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta sebagai momen tepat hentikan proyek
reklamasi.
"Reklamasi bukanlah kepentingan masyarakat Jakarta tetapi menjadi
kepentingan sekelompok elite dan kapitalis dengan mengorbankan
kelestarian alam dan masyarakat nelayan tradisional," ujar Direktur
Eksekutif Walhi Jakarta Puput TD Putra.
Sejak kasus suap terkait reklamasi mengemuka, DPRD DKI Jakarta
sepakat menunda pembahasan dua raperda yang dimaksud karena telah masuk
ke ranah hukum.
Sambil menunggu proses hukum serta membereskan aturan perundangan
yang tumpang tindih, Menteri KKP Susi Pudjiastuti meminta pembangunan di
pulau-pulau reklamasi dihentikan sementara.
Namun, tidak demikian yang terjadi di lapangan. Menurut pengakuan
Rudi, proyek pembangunan pulau buatan masih tetap berlangsung meskipun
sedang dibelit kasus hukum.
"Semenjak para nelayan berdemo karena isu korupsi mencuat, mereka
(pengembang) lebih aktif bekerja pada malam hari," ungkapnya.
Rabu, 13 April 2016
Derita nelayan seiring reklamasi pantai Jakarta
Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2016
0 komentar:
Posting Komentar