Selasa, 08 September 2015

Blusukan kabut asap Jokowi menuju pengadilan kejahatan lingkungan hidup

Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berharap agar kunjungan "blusukan" Presiden Joko Widodo ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Oga Komering Ilir, Sumatera Selatan pada Minggu (6/9) tidak hanya berakhir sebagai seremoni semata yang tak menuntaskan bencana asap.

"Walhi Sumsel mengapresiasi kehadiran Presiden, apalagi niatnya untuk merasakan langsung penderitaan rakyat Sumatera Selatan akibat kebakaran dan kabut asap yang merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang terus mengeksploitasi hutan dan lahan gambut. Namun blusukan yang dilakukan Presiden ini tidak akan membuat perubahan yang signifikan terhadap kondisi lingkungan hidup dan rakyat di Sumatera Selatan, yang saat ini hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehatnya terampas oleh Kebijakan negara," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumsel Hadi Jatmiko pada Antara News melalui pesan singkat, Senin.

Hadi menambahkan, kunjungan Presiden lemah implementasi pasalnya, dalam kunjungan tersebut, Presiden Jokowi dinilai hanya mengulang empat instruksi yang pernah dikeluarkan saat dia berkunjung ke Riau.

"Dulu, saat berkunjung ke Riau Jokowi menyatakan bahwa 2015 Indonesia harus bebas asap. Namun nyatanya asap masih terus menyelimuti Indonesia dan tambah parah. Salah satu penyebabnya adalah instruksi yang diberikan Presiden tidak dijalankan dengan baik oleh pejabat di bawahnya baik pusat maupun daerah. Yang dilakukan oleh pejabat di bawahnya hanya sebatas melakukan hal-hal teknis seperti memadamkan api saat sudah terjadi kebakaran, tetapi tidak melakukan upaya-upaya strategis yang selama ini selalu absen dilakukan oleh negara atau pemerintah, yaitu penegakan hukum dan peninjauan perijinan terhadap perusahaan perusahaan yang membakar lahan dan hutan. Jika pun ada penegakan hukum, pemerintah tidak berani menyentuh perusahaan-perusahaan besar seperti perusahaan Perkebunan kayu miliknya Asia pulp and paper seperti PT. Bumi Mekar Hijau, di Ogan Komering Ilir yang telah merugikan negara mencapai Rp7,9 triliun dan PT. Rimba Hutani Mas di kabupaten Musi Banyuasin yang sejak 2014 sampai dengan saat kunjungan Jokowi di sumsel kemarin, di lahan ini masih terus ditemukan titik api," katanya.

Walhi menilai penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat penegak hukum hanya diberlakukan untuk masyarakat kecil dan menjadikan mereka kambing hitam atas bencana kabut asap.

Padahal, berdasarkan monitoring yang Dilakukan Walhi Sumsel, hotspot terbanyak sejak bulan Agustus - September 2015 berada di 18 perusahaan HTI dan 60 perusahaan perkebunan yang tersebar di Sumsel.

Walhi meminta agar pemerintah menutup kanal-kanal yang dibuat perusahaan di lahan dan hutan gambut di Sumatera Selatan, sehingga gambut tidak kering dan terbakar.

"Untuk itu, Presiden harus memimpin langsung upaya penegakan hukum dan review perizinan yang selama ini selalu absen dilakukan oleh pejabat di bawahnya dan di daerah tanpa tebang pilih, khusunya terhadap perusahaan-perusahaan besar yang selama ini diuntungkan oleh pembakaran yang dilakukan selama ini," katanya.

Selain itu, Presiden juga harus aktif melakukan monitoring terhadap perusahaan-perusahaan yang saat ini sedang diadili dan diproses hukumnya baik di pengadilan maupun oleh penegak hukum kepolisian.

"Kami melihat upaya upaya penegakan hukum baik pidana maupun perdata yang dilakukan oleh pemerintah dan penegak hukum tidak serius. Presiden juga harus memerintahkan rehabilitasi lahan dan hutan yang terbakar dan melakaukan penutupan kanal kanal terhadap lahan dan hutan gambut yang telah dikeringkan oleh perusahaan. Selain itu, Presiden harus melakukan moratorium izin terhadap wilayah yang merupakan ekologi genting, penting dan unik dan diikuti upaya penegakan hukum terhadap pelaku pelanggaran," katanya.

Selanjutnya, Walhi mendesak agar pemerintah memberikan penguasaan dan pengelolaan lahan dan hutan gambut, baik yang belum dikuasai oleh perusahaan maupun yang izinnya telah dicabut oleh pemerintah kepada rakyat yang terbukti mampu mengelola dan melindungi gambut secara adil dan lestari serta memberikan rakyat akses teknologi pertanian yang ramah lingkungan.

"Kami juga mendesak agar kejahatan lingkungan hidup dijadikan sebagai kejahatan luar biasa dengan membentuk pengadilan khusus lingkungan hidup di Indonesia," katanya.

Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2015

0 komentar:

Posting Komentar