Selasa, 15 September 2015

Kenaikan cukai tembakau dalam RAPBN 2016 dapat dukungan

Bogor (ANTARA News) - Gabungan organisasi massa, akademisi serta mahasiswa menyerukan penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan dan mendukung kenaikan target cukai tembakau yang ditetapkan pemerintah dalam RPABN 2016.

Dalam siaran pers yang diterima oleh Antara di Bogor, Senin, sejumlah pakar, peneliti dan ahli berpendapat penolakan RUU Pertembakauan ini mencuat karena data yang disampaikan tidak valid dan ada kekeliruan (misleading).

"Kekhawatiran kenaikan target penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang ditetapkan pemerintah dalam RAPBN 2016 akan mengancam kelangsungan industri tembakau, tidak berbasis bukti," kata Wakil Direktur Lembaga Demografi Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan.

Abdillah mengatakan, selama cukai rokok masih di bawah inflasi dan GDP, rokok akan tetap murah bagi para perokok.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Prof Hasbullah Thabrany mengatakan, meskipun harga rokok naik karena cukai naik, rokok tetap akan dicari oleh para perokok. Meskipun faktanya, mayoritas perokok di Indonesia berasal dari kalangan miskin.

"Tidak sedikit dari mereka yang rela mengorbankan anggarannya untuk membayar sekolah, buku anaknya atau membeli makanan berprotein tinggi untuk keluarganya," kata Prof Habusllah.

Prof Habusllah mengungkapkan, berdasarkan data Susenas Tahun 2015 dan Riskesdas Tahun 2013, konsumsi tembakau pada usia 10 sampai 14 tahun meningkat 12 kali lipat dari 0,3 persen (1995) menjadi 3,7 persen (2013).

"Saat ini, BPJS defisit Rp6 triliun untuk 150 juta PBI. Bisa dibayangkan berapa beban pembiayaan berobat penyakit masyarakat miskin yang dipicu dan diperberat oleh konsumsi rokok," katanya.

Prof Habullah menambahkan, perokok dari masyarakat miskin dari kaya menyumbang orang terkaya. Tahun 2012, TP Djarum (terkaya nomor 1 di Indonesia) menguasai 12,6 persen pangsa pasar rokok Indonesia dan menghasilkan omzet Rp127,4 triliun.

"Bayangkan jumlah uang yang disumbangkan perokok kepada perusahaan asing yang menguasai 73,9 persen pasar rokok Indonesia," katanya.

Atas dasar itulah, lanjut Prof Hasbullah, ia dan sejumlah organisasi massa, akademisi dan mahasiswa menandatangani pernyataan bersama "Tolak RUU Pertembakauan dan Dukung Kenaikan Cukai Rokok untuk Penyelamatan Bangsa".

"Pernyataan ini akan diserahkan kepada Presiden, Baleg DPR RI, DPR RI, serta seluruh kementerian terkait termasuk Kementerian Keuangan," kata Prof Habusllah.


Ketagihan

Sementara itu, Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, fakta yang sering kali ditutupi di masyarakat adalah rokok merupakan barang yang bila dikonsumsi akan menyebabkan ketagihan (adiksi) bagi pengkonsumsinya.

"Industri rokok selalu menggunakan petani tembakau dan buruh industri rokok sebagai tameng," kata Tulus.

Ketua Komisi Perlindungan Anak, Asrorun Niam Soleh mengkhawatirkan, kecanduan rokok dalam sebuah keluarga miskin berpotensi akan mengorbaknkan investasi atau tumbuh kembang dan masa depannya keluarganya terutama anaknya.

"Apabila dalam keluarga miskin, ayah atau ibu tidak bisa lepas dari jeratan adiksi rokok, maka anggota keluarganya, terutama anak berpotensi besar untuk dikorbankan investasi tumbuh kembang dan masa depannya," kata dia.

Peneliti dari Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Soewarta Kosen menjelaskan, berbagai penelitian menujukan bahwa penyakit yang dipicu oleh rokok biasanya baru terasar setelah 15 sampai 20 tahun perilaku merokok di mulai.

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Arifin Nawas juga menjelaskan, prilaku merokok cepat atau tidaknya akan menimbulkan efek negatif tergantung dari daya tahan tubuh, lingkungan dan perilaku menjaga kesehatan.

"Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penyakit yang dipicu oleh rokok muncul lebih berat pada perokok pasif dibanding aktif," katanya.


Perokok Pasif Meningkat
Menurut Ikatan Ahli Kesehatan Indonesia (IAKMI), berdasarkan data Riskesdas dan Susenas, perokok pasif meningkat 5 persen dari 91 juta jiwa pada tahun 2007 menjadi 96 juta jiwa pada tahun 2013.

Fakta saat ini, 54 persen wanita Indonesia menjadi perokok pasif itu berdasarkan data 2013. Jumlah ini naik 4 persen dari tahun 2004 yang hanya 50 persen. Dan perokok anak usia 0 sampai 9 tahun terpapar asap rokok juga cukup tinggi yakni 56,7 persen.

Peneliti Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Indonesia, Rahma menambahkan, dalam rapat harmonisasi RUU Pertembakauan di Baleg DPR RI, banyak angka yang tidak valid dan reliable.

"Berdasarkan data Kementerian Keuangan petani tembakau berjumlah 900 ribuan, namun dibesarkan menjadi 1,7 juta," kata Rahma.

Abdillah Ahsan dan Rahman menjelaskan, siapa yang sesungguhnya diuntungkan dari penjualan rokok di Indonesia adalah para industri rokok itu sendiri. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi cengkeh Indonesia turun 26 persen dari 98.386 ton (2010) menjadi 72.976 ton (2012).

Impor cengkeh, lanjut mereka, naik menjadi 5,308 persen dari 277 ton (2010) menjadi 14.979 ton di tahun 2011. Impor daun tembakau naik 301 persen dari 26.546 ton pada tahun 1990 menjadi 106.570 ton pada tahun 2012.

"Tahun 2011, impor daun tembakau varietas Virginia senilai US$ 262,230,000 atau Rp2,2 triliun. Tahun 2012, sekitar 73,9 persen pasar rokok dikuasai perusahaan asing seperti Phillip Morris Internasional, British American Tobacco, KT and G Corp Kore, Japan Tobacco Industry," kata Abdillah.

Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2015

0 komentar:

Posting Komentar