Rabu, 30 September 2015

Pemerintah Daerah punya wewenang soal minumal beralkohol

Jakarta (ANTARA News) - Setelah menimbulkan pro dan kontra mengenai peredaran minuman beralkohol, pemerintah akhirnya bersedia mengakomodasi keinginan sebagian masyarakat terkait penjualan komoditas tersebut.

Kementerian Perdagangan dalam waktu dekat akan merelaksasi Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A.

"Intinya, Peraturan Dirjen Dagri yang mengatur khusus daerah wisata yang ada peraturan daerahnya itu, akan direlaksasi dan dikembalikan ke kabupaten kota untuk lokasi mana saja yang boleh (menjual), dan tidak melanggar Permendag yang ada," kata Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina.

Aturan Dirjen Dagri No. 04/2015 tersebut mengatur tentang tata cara penjualan minuman beralkohol golongan A, khususnya untuk daerah wisata.

Namun dengan direlaksasinya aturan tersebut, maka nantinya pemerintah daerah yang akan memiliki wewenang untuk menetapkan daerah mana saja yang bisa menjual bir dan minuman sejenisnya.

"Biarkan pemerintah daerah yang menentukan lokasi mana yang bisa menjual minuman beralkohol tersebut. Karena pemerintah daerah yang paling paham terhadap masyarakatnya, apakah memerlukan minuman beralkohol atau tidak," ujar Srie.

Namun, Srie menegaskan, dengan adanya relaksasi tersebut bukan berarti minuman beralkohol golongan A bisa dijual kembali di minimarket, karena untuk pelarangan penjualan bir masih diatur dalam Permendag No 06/2015 tentang perubahan kedua atas Permendag No. 20/M-DAG/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.

"Untuk Perdirjen itu kan hanya (memperbolehkan) di kawasan wisata, nanti, di luar kawasan wisata juga boleh sepanjang bupati atau wali kota yang menetapkan, akan tetapi tetap non-minimarket," kata Srie.

Srie menambahkan, dengan adanya rencana relaksasi tersebut pemerintah daerah yang akan menentukan, namun beberapa kota di Jawa Barat seperti Bandung dan Depok menyatakan bahwa mereka tidak memerlukan minuman beralkohol golongan A untuk masyarakat mereka.

"Dengan adanya relaksasi Perdirjen, artinya bupati atau wali kota yang paling paham mengenai masyarakatnya, butuh atau tidak. Seperti Bandung, mereka tidak butuh. Jawa Barat ada beberapa kota yang sudah menolak, Depok juga tidak mau," ujar Srie.

Kurang lebih ada sembilan jenis minuman beralkohol golongan A yang beredar di Indonesia, yaitu shandy, minuman ringan beralkohol, bir, lager, ale, bir hitam atau stout, low alcohol wine, minuman beralkohol berkarbonasi, dan anggur brem Bali.

Rencana relaksasi tersebut merupakan salah satu yang masuk dalam Peket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada 9 September 2015.

Dalam paket tersebut, rencana untuk relaksasi ini masuk ke dalam Daftar Kebijakan Deregulasi September 2015, dan direncanakan akan selesai pada bulan yang sama.

Tujuan dari adanya deregulasi tersebut, secara garis besar, diarahkan untuk memulihkan dan meningkatkan kegiatan industri atau utilisasi kapasitas industri, dan menghilangkan distorsi industri yang membebani konsumen dengan melepas tambahan beban regulasi dan birokrasi bagi industri.

Aturan terkait pelarangan penjualan minuman beralkohol golongan A di minimarket tersebut sesungguhnya baru berjalan efektif sejak April 2015, dalam masa kepemimpinan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Namun, aturan turunan dari Permendag tersebut akan direlaksasi setelah Rachmat digantikan oleh Thomas Lembong beberapa waktu lalu.

Pada saat itu, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang perubahan kedua atas Permendag No. 20/M-DAG/4/2014 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran dan penjualan minuman beralkohol yang melarang minimarket untuk menjual minuman beralkohol golongan A karena dianggap meresahkan masyarakat.

Setelah dikeluarkan Permendag tersebut, Kementerian Perdagangan juga mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A khususnya untuk daerah wisata di Indonesia.

Anggota Komisi IX DPR RI Okky Asokawati menyikapi rencana relaksasi Peraturan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis (Juknis) Pelaksanaan Pengendalian, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A.

"Rencana perubahan peraturan itu harus dipastikan tidak bertentangan dengan aturan di atasnya," katanya.

Peraturan di atasnya adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2015 baik secara normatif maupun semangat yang terkandung dalam Permendag tersebut, yakni melindungi konsumen serta menjaga kesehatan dan keamanan masyarakat.

"Rencana perubahan peraturan dirjen itu harus ditolak bila dimaksudkan untuk memperlonggar peredaran alkohol golongan A di daerah dengan menyerahkan kewenangannya di pemerintahan daerah (pemda)," katanya.

Penyerahan kewenangan ke pemda terkait peredaran minuman beralkohol justru akan menghambat efektivitas pelaksanaan Permendag Nomor 6 Tahun 2015.

"Karena dalam praktiknya, tidak sedikit perda yang bertentangan dengan peraturan di atasnya," kata anggota Fraksi PPP itu.

Menurut dia, rencana relaksasi peraturan dirjen Nomor 04/PDN/PER/4/2015 itu, yang masuk dalam Daftar Kebijakan Deregulasi sebagai implementasi Paket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada 9 September 2015, kurang tepat.

"Semangat pemulihan ekonomi semestinya bukan justru membuka potensi negatif terhadap masyarakat," katanya.

Dia mengatakan, banyak cara yang minim risiko ketimbang menderegulasi peraturan dirjen tersebut yang terkait dengan pengendalian minuman beralkohol.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan relaksasi regulasi minuman keras akan melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

"Minuman keras adalah barang yang dikenai cukai sehingga sudah seharusnya penjualannya dibatasi dengan ketat," kata Tulus Abadi melalui siaran pers.

Tulus mengatakan prinsip barang yang dikenai cukai adalah barang yang legal tetapi penggunaan atau konsumsinya dibatasi.

Penjualan barang kena cukai harus seketat mungkin, sehingga tidak mudah diakses oleh masyarakat, apalagi anak-anak dan remaja.

Dengan membolehkan kembali minuman keras dijual di minimarket, Tulus menilai Kementerian Perdagangan telah melanggar Undang-Undang Cukai. Sebab, minimarket modern saat ini telah "menjamur" di semua tempat tanpa bisa dikendalikan.

"Minuman keras, termasuk rokok yang juga dikenai cukai, tidak boleh dijual di minimarket yang mudah diakses anak-anak. Penjualan minuman keras dan rokok harus sangat ketat," tuturnya.

Menurut Tulus, minuman keras dan rokok merupakan pintu pertama bagi seseorang untuk mengonsumsi narkotika dan obat-obatan berbahaya.

Dengan membiarkan, bahkan mengizinkan minuman keras dan rokok dijual bebas maka Kementerian Perdagangan bisa dituding kontrapengendalian narkoba.

"Itu jelas bertentangan dengan kredo Presiden Joko Widodo yang menyatakan perang terhadap narkoba," ujarnya.

Karena itu, YLKI menolak relaksasi regulasi penjualan minuman keras dan mendesak Kementerian Perdagangan agar tetap melarang penjualan minuman keras di minimarket modern.


Editor: Aditia Maruli
COPYRIGHT © ANTARA 2015

0 komentar:

Posting Komentar