Davos (ANTARA News) - Pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini masih
menghadapi tantangan berat karena banyak negara maju belum pulih yang
berdampak pula pada pertumbuhan di negara-negara berkembang.
Hal itu terkemuka pada pembukaan Forum Ekonomi Dunia (World Economic
Forum) di Davos, Swiss, Kamis, yang dihadiri oleh ratusan pebisnis
dunia dan perwakilan pemerintah sejumlah negara, termasuk Indonesia.
"Kita datang di sini untuk menangani berbagai tantangan regional dan domestik," kata Pendiri dan Pemimpin WEF, Klaus Schwab.
Ia mengajak para pemimpin bisnis dan perwakilan pemerintah yang
hadir tidak hanya menginisiasi agenda, tapi juga mencari solusi dari
berbagai masalah dan tantangan global.
"Interaksi informal para pemimpin dalam forum ini salah satunya
mengarisbawahi pentingnya mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif
berkelanjutan," katanya.
Pada konferensi tahunan WEF ke-45 yang berlangsung pada 21-24
Januari itu, mengangkat topik "The New Global Context" sebagai isu utama
guna menggali lebih jauh berbagai persoalan transformasi ekonomi,
sosial dan politik yang terjadi di seluruh wilayah dunia.
Diskusi awal mengangkat masalah ekonomi makro dengan tema The New
Growth Context. Para pembicara pada sesi itu antara lain Co-founder and
Managing Director The Carlyle Group David M. Rubenstein, Deputy
Managing Director International Monetary Fund (IMF) Min Zhu, Chief
Executive Officer and Co-Founder SOHO China Zhang Xin, dan Vice-Chairman
GE Hong Kong SAR John Rice, serta pakar ekonomi Jerman yang juga
guru besar University of Chicago Booth School of Business, Axel Weber.
Pada diskusi tersebut terkemuka tantangan negara berkembang sangat
besar untuk menjaga pertumbuhan ekonomi berkelanjutan terkait
perlambatan ekonomi global, proses pemulihan ekonomi di Amerika Serikat,
serta krisis di Uni Eropa yang bisa muncul sewaktu-waktu, di samping
penurunan harga minyak dunia, dan perlambatan laju ekonomi China yang
selama ini menjadi salah satu penggerak pertumbuhan global.
WEF juga mencatat tantangan di bidang ekonomi tersebut dapat
memunculkan risiko penggelembungan aset di beberapa beberapa negara,
inflasi tidak terkendali, kegagalan mekanisme sistem keuangan, dan
risiko krisis ekonomi di sebagian negara kunci.
Selain itu diperkirakan penurunan harga minyak mentah dunia hingga 40
dolar AS per barel dapat berimbas terhadap perekonomian dunia.
Penurunan harga minyak itu juga diperkirakan akan membuat
perekonomian Rusia kembali terpukul, paling tidak dalam satu tahun ke
depan atau lebih cepat dari itu.
Kondisi ini akan menambah tekanan yang dirasakan Negeri Beruang
Merah itu akibat krisis Ukraina sehingga pertumbuhan ekonomi akan lebih
rendah dari proyeksi 4,8 persen pada tahun ini.
"Masalahnya, bisa semakin berat karena banyak perusahaan Rusia yang
memiliki simpanan di bank-bank Eropa," ujar Co-founder and Managing
Director The Carlyle Group David M Rubenstein.
Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menteri Perdagangan Rachmat
Gobel akan hadir pada sesi mengenai "Trade & Investment in the 21st
Century: What really matters"
Pada 23 Januari 2015 Mendag Rachmat Gobel dijadwalkan hadir setelah
kunjungan kerja ke Jepang. Kehadirannya pada WEF itu juga dimanfaatkan
untuk melakukan beberapa pertemuan bilateral antara lain dengan Uni
Eropa, Amerika Serikat, dan Swiss, serta dengan perusahaan kelas dunia
seperti Standard Chartered.
"Dari Forum ini diharapkan pula kami bisa melakukan promosi dan
menjajaki kerja sama ekonomi dengan berbagai negara dan pelaku usaha
dunia," ujar Rachmat.
Kamis, 22 Januari 2015
Pertumbuhan ekonomi dunia hadapi tantangan berat
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2015
0 komentar:
Posting Komentar