Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pendayagunaan Apararur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengatakan praktik politik dinasti kini tergantung pada moral petahana, setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan kerabat keluarga petahana tidak boleh mencalonkan diri dalam pilkada.
"Untuk mengantisipasi politik dinasti kini hanya bergantung pada moralitas politik petahana di daerah," kata Yuddy kepada wartawan di Gedung Kemenpan-RB, Jakarta, Kamis malam.
Yuddy melanjutkan, dengan moralitas politik, kepekaan sosial dan rasa demokrasi, sudah seharusnya petahana tidak membiarkan keluarganya untuk maju sebagai kepala atau wakil kepala daerah.
Menpan-RB sendiri menyatakan menghormati keputusan MK. Namun secara pribadi guru besar dari Universitas Nasional Jakarta ini tidak setuju atas pembatalan Pasal 7 Huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tersebut.
"Logika saya pribadi, kalau ada keluarga dari penjabat di pemerintahan daerah mencalonkan diri dalam pilkada, kemungkinan penyalahgunaan pengaruh akan semakin besar," katanya.
Kemenpan-RB sendiri memiliki cara untuk menekan kemungkinan-kemungkinan politik dinasti di daerah, yaitu dengan menjaga netralitas setiap aparatur sipil negara (ASN).
"Kami akan terus memberikan arahan, membina, mengawasi serta memberlakukan sanksi tegas agar netralitas ASN tetap terjaga, sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara," ujar Yuddy.
Sebelumnya, pada Rabu (8/7), MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi dari UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang diajukan Adnan Purichta Ichsan, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan.
Pemohon mengajukan uji materi dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 7 huruf r dan Pasal 7 huruf s.
Pasal 7 huruf r tersebut berbunyi, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana."
Mahkamah mengatakan Pasal 7 huruf r dan penjelasannya memuat norma hukum yang tidak jelas, bias, dan menimbulkan multitafsir karena menimbulkan ketidakjelasan, perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum, dan perlakuan diskriminatif.
Sementara Pasal 7 huruf s yang berbunyi "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut; memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Daerah, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah", dinyatakan inkonstitusional.
Sebagai gantinya, MK menyatakan setiap anggota DPR, DPD dan DPRD untuk mengundurkan diri ketika disahkan menjadi calon kepala atau wakil kepala daerah oleh KPU/KPUD.
Alasan MK adalah untuk memberikan keadilan karena Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil, tertuang dalam Pasal 7 huruf t Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 sebelum perubahan, harus mengundurkan diri jika mencalonkan diri menjadi kepala dan wakil kepala daerah.
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2015
0 komentar:
Posting Komentar