Senin, 07 Maret 2016

KTT OKI - Perjuangan Indonesia untuk Palestina

Jakarta (ANTARA News) - "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel".

Kutipan terkenal dari pernyataan Presiden Soekarno pada 1962 sekaligus mengusir kontingen Israel dari Asian Games tahun itu di Jakarta merupakan salah satu sikap tegas pemerintah Republik Indonesia dalam berjuang untuk kemerdekaan Palestina dan perdamaian di negara itu.

Silih berganti pemerintahan yang telah berjalan di Republik Indonesia, semua bersikap tegas bagi pembelaan atas bangsa Palestina untuk merdeka dan terbebas dari intimidasi dan teror zionis Israel.

Presiden Soekarno (1945-1967), Soeharto (1967-1998), BJ Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014), hingga Presiden Joko Widodo (2014-sekarang) tetap tampil sebagai Kepala Negara/Kepala Pemerintahan dari negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang kokoh membela Palestina.

Palestina ibarat Indonesia di belahan dunia lain tetapi sangat dekat dengat hati bangsa Indonesia. Palestina turut membantu perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan dan termasuk dalam barisan negara pertama di samping Mesir yang mengakui kedaulatan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Simbol-simbol kedekatan kedua negara juga terlihat, misalnya, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, diambil dari nama Al Quds (berarti Kota Suci di Yerusalem) oleh Sunan Kudus (Jafar Shadiq), salah satu Wali Songo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa, yang lahir di Al Quds (Yerusalem) 4 September 1400 dan wafat 5 Mei 1550 di Kudus. Semasa hidupnya, ia bahkan membangun Masjidil Al Aqsha Menara Kudus.

Di Palestina juga terdapat beberapa masjid yang dibangun oleh rakyat Indonesia. Masjid Daarut Tauhiid Indonesia di Gaza misalnya yang diresmikan pada 31 Desember 2015, berdiri di atas tanah milik Departemen Agama dan Perwakafan Palestina.

Di Gaza, Palestina, juga berdiri Rumah Sakit Indonesia yang dibangun rakyat Indonesia di tanah wakaf pemerintah Palestina seluas 16.261 meter persegi dan memiliki kapasitas 100 tempat tidur. Rumah Sakit Indonesia mulai beroperasi pada 27 Desember 2015.

Konflik berkepanjangan antara bangsa Yahudi yang menduduki Palestina, sejak bangsa Yahudi Israel bermigrasi ke Palestina dari Eropa pada 1882 dan mengklaim Palestina sebagai "tanah yang dijanjikan" untuk bangsa Yahudi.

Inggris menguasai wilayah Palestina setelah Perang Dunia I dimenangkan oleh Pasukan Sekutu. Inggris memperkokoh pemukiman Yahudi di Palestina.

Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 181 pada 29 November 1947 membagi Palestina menjadi wilayah Arab Palestina dan wilayah Yahudi Israel. Resolusi itu dengan sendirinya mengakui keberadaan Israel di Palestina.

Israel memproklamasikan kemerdekaan dari Inggris pada 14 Mei 1948, sehari sebelum Inggris mengakhiri kekuasaannya di Palestina. AS dan sekutunya langsung mengakui kemerdekaan Israel. Bangsa Palestina menjadi terjajah di negerinya sendiri oleh Israel yang mendudukinya. Wilayah pendudukan Israel di Palestina semakin luas, bangsa Palestina diperangi oleh Israel.

Israel dibantu AS dan sekutunya bahkan menyerang ke berbagai negara Arab di sekitar Palestina, seperti Mesir, Yordania, dan Suriah. Israel tak mematuhi berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menempuh perdamaian dengan Palestina.

Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri pada 1964 di pengasingan untuk berjuang memerdekakan Palestina dari Israel. PLO dipimpin oleh Yasser Arafat, pejuang Palestina, dan PLO bermarkas di Yordania sebelum kemudian pindah ke Libanon. Indonesia mendukung perjuangan bangsa Palestina.

Pada 25 Juli 1984, Pemimpin PLO Yasser Arafat bertemu dengan Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam pertemuan perdana kedua kepala pemerintahan itu, Soeharto menegaskan bahwa Republik Indonesia mendukung penuh perjuangan rakyat Palestina memperoleh kemerdekaannya sebagai hal prinsipil dan secara politis sesuai dengan Pembukaan UUD 1945.

Pada 15 November 1988, Pemimpin PLO Yasser Arafat di Aljazair memproklamasikan kemerdekaan Palestina sebagai negara berdaulat berbentuk republik parlementer dengan ibu kota negara berada di Al Quds Al Sharif, Yerusalem Timur. Arafat menjadi Presiden Otoritas Palestina yang pertama.

Proklamasi kemerdekaan Palestina itu langsung mendapat pengakuan dari Indonesia dan disambut dengan suka cita.

Pada 19 Oktober 1989, Indonesia dan Palestina menandatangani kesepakatan dimulainya hubungan diplomatik. Penandatanganan dilakukan oleh Menteri Luar Negeri saat itu Ali Alatas dan pejabat PLO Farouk Kaddoumi.

Palestina membuka kedutaan besar di Jakarta, sedangkan pemerintah Indonesia menugaskan Kepala Misi ke Republik Tunisia sebagai Duta Besar non-residen Palestina sebelum kemudian Kedutaan Besar RI untuk Yordania merangkap Negara Palestina berkedudukan di Amman, Yordania.

Pada KTT ke-10 Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non-Allignment Movement (NAM) di Jakarta pada 1-6 September 1992, Arafat kembali datang ke Jakarta dan konferensi itu memperteguh dukungan Indonesia bersama negara-negara anggota GNB untuk memberikan dukungan penuh bagi kemerdekaan Palestina.

Pada 16 Agustus 2000 atau sehari sebelum Peringatan HUT ke-55 Proklamasi Kemerdekaan RI, Presiden Abdurrahman Wahid didampingi Wapres Megawati Soekarnoputri menerima kedatangan Presiden Otoritas Palestina Yasser Arafat di Istana Merdeka, Jakarta.

Gus Dur seusai pertemuan itu menegaskan bahwa Indonesia terikat kepada keputusan mendukung Palestina, sedangkan Arafat menyebutkan bahwa hingga saat itu telah ada 123 negara mendukung negara Palestina.

Kekejian militer Israel tetap membunuh rakyat Palestina meskipun seruan dan desakan perdamaian digaungkan oleh banyak negara termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Setelah bertahan dari kungkungan penyakit selama tiga tahun dan berada di Markas Besar PLO di Ramallah, Palestina, pada kondisi di tengah konflik berkepanjangan dengan Israel, Yasser Arafat wafat di Rumah Sakit di Paris, Prancis, pada 11 November 2004 dalam usia 75 tahun.

Pemerintah baru Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang baru dilantik setelah terpilih dalam Pilpres 2014, menyampaikan duka cita yang amat mendalam.

Pada 9 Januari 2005 Mahmoud terpilih sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan Arafat.

Pemerintah Indonesia dalam berbagai forum internasional, termasuk saat Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan, Dewan HAM PBB, atau dalam Majelis Umum PBB, terus menyerukan perdamaian di Palestina. Begitu pula dalam setiap sidang Organisasi Kerja Sama Islam atau saat sebelumnya masih bernama Organisasi Konferensi Islam.

Namun Israel masih membobardir bangsa Palestina di tanah Palestina. Mereka sama sekali tak menghormati Palestina bahkan setelah bendera Palestina berkibar di PBB sejak 30 September 2015.


Bersatu untuk Solusi Adil

Sudah tak terhitung berbagai persidangan antarnegara membahas perdamaian Israel dan Palestina. Kini, Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa ke-5 OKI di Jakarta 6-7 Maret 2016 yang khusus membahas Palestina dan Al-Quds Al-Sharif menjadi tumpuan untuk menghasilkan resolusi dan deklarasi yang kongkret bagi penyelesaian konflik tersebut.

Melalui surat tertanggal 13 Januari 2016 yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Luar Negeri Palestina dan Sekretariat Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam menyampaikan permintaan agar Indonesia menjadi tuan rumah KTT LB ke-5 OKI. Konferensi sesungguhnya datang dari keinginan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas. Ia meminta diselenggarakannya konferensi tersebut, melihat situasi yang dihadapi warga Palestina yang kian dipersulit oleh Pemerintah Israel untuk mengakses area kompleks Masjid Al-Aqsa untuk beribadah. OKI diharapkan jadi langkah yang tepat untuk memecahkan persoalan ini secara diplomatis.

Surat balasan kepada Sekjen OKI di Jeddah pun dikirim pada 20 Januari 2016 lalu. Surat itu menuliskan kesediaan Indonesia untuk menjadi tuan rumah. Kesediaan Indonesia itu tentunya beralasan. Ini jadi momentum untuk menyampaikan kepada dunia internasional akan dukungan Indonesia kepada Palestina. Selain sebagai bentuk dukungan kepada Palestina, kesediaan Indonesia juga didasari oleh situasi Al-Quds yang semakin mengkhawatirkan, terhentinya negosiasi bersama Komite Quartet Internasional sejak 27 Mei 2015 lalu, dan menjalankan mandat konstitusi.

Maka sesuai ketetapan, KTT Luar Biasa ke-5 OKI digelar 6-7 Maret 2016. Para pimpinan dari 56 negara anggota hadir untuk saling berpendapat dan melahirkan strategi terobosan agar proses perdamaian dunia di Timur Tengah yang selama ini tertunda dapat segera aktif kembali.

Negara-negara yang diundang merupakan negara yang menjadi anggota OKI, minus Suriah sebab keanggotaannya dibekukan. Selain Negara anggota OKI, akan hadir juga negara kunci seperti Negara Kwartet (Rusia, AS, PBB dan Uni Eropa) dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, Rusia, Inggris, Prancis dan China). Terlibat pula 4 Negara observer OKI, yakni Bosnia Herzegovina, Republik Afrika Tengah, Rusia dan Thailand.

KTT yang mengusung tema "United for a Just Solution" (Bersatu untuk Sebuah Solusi yang Adil) ini merespons situasi mengkhawatirkan dan mendesak di Palestina dan Al-Quds Al-Sharif, yang tidak hanya memengaruhi rakyat Palestina melainkan juga umat Islam di seluruh dunia.

Konferensi ini akan menjajaki pendekatan terobosan dan strategi untuk menjawab pendudukan ilegal pemerintah Israel; mempercepat proses perdamaian; mengatasi situasi di Al-Quds Al-Sharif; memberikan perlindungan dan akses terhadap warga Palestina di Al-Quds Al-Sharif; serta menegaskan dukungan untuk perwujudan kemerdekaan Palestina dengan Al-Quds Al-Sharif sebagai ibukotanya.

KTT ini diharapkan menghasilkan sebuah Resolusi yang akan menegaskan kembali posisi prinsip negara-negara anggota OKI mengenai isu Palestina dan Al-Quds Al-Sharif dan Deklarasi Jakarta yang akan berisi komitmen para pemimpin negara anggota OKI untuk mengejar langkah-langkah konkret dalam upaya mendukung Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.

Selain itu, diharapkan penguatan komitmen politik baru dari negara-negara OKI dalam mendukung Palestina, mengkaji peran mekanisme The Quartet dan kemungkinan perluasan keanggotaan The Quartet, dan mengusulkan pembentukan Core Group Leaders OKI untuk menggalang dukungan negara-negara non-OKI. Hasil akhir juga diharapkan dapat menggalang dukungan terhadap "international protection" bagi Palestina melalui bantuan finansial dan ekonomi, serta mengusulkan "second track approach" khususnya di kalangan pemuka agama melalui mekanisme dialog antaragama dan keyakinan.

Harapan dunia bagi penyelesaian masalah Palestina kembali terpusat kepada kiprah Indonesia yang tak pernah berhenti berjuang mendukung perwujudan perdamaian Palestina.

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2016

0 komentar:

Posting Komentar