Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pajak Darussalam menilai
pentingnya reformasi sektor pajak dan pembenahan struktural, agar
pemerintah bisa memenuhi realisasi penerimaan pajak yang setiap tahunnya
nyaris tidak pernah mencapai target.
Darussalam dalam keterangannya di Jakarta, Senin mengatakan ada tiga tahapan reformasi pajak yang harus dilakukan pemerintah yakni reformasi kelembagaan, administrasi perpajakan, dan aturan perpajakan.
Menurut dia, target penambahan pajak tahun 2015 sebesar Rp600 triliun mustahil bisa diwujudkan tanpa diriingi sejumlah pembenahan struktural yang menjadi penghambat pertumbuhan penerimaan pajak selama ini.
"Sebelum pembenahan tiga hal tersebut dilakukan, jangan banyak berharap penerimaan pajak bisa melonjak. Saat ini, tren pertumbuhan pajak dari tahun ke tahun hanya 10 persen hingga 20 persen, jadi tidak mungkin bisa tumbuh Rp600 triliun yang artinya tumbuh mencapai 50 persen tanpa ada pembenahan," katanya.
Ia menambahkan idealnya kebijakan pembenahan dan reformasi tersebut diikuti dengan langkah intensifikasi yang akan mendorong ekstensifikasi pajak, apalagi secara tidak langsung subyek pajak dari orang pribadi atau perusahaan dapat bertambah.
Darussalam ikut menyarankan, Direktur Jenderal Pajak yang baru dari hasil seleksi terbuka jabatan, tidak dibebani terlebih dahulu dengan target pajak yang tinggi, karena pembenahan tiga hal tersebut membutuhkan waktu setidaknya dua tahun.
Namun, pengamat Danny Darussalam Tax Center ini mengapresiasi proses seleksi terbuka jabatan Direktur Jenderal Pajak yang berlangsung transparan dengan Tim Panitia Seleksi yang memiliki integritas serta melibatkan PPATK/KPK.
"Ini demi membangun pondasi awal perpajakan yang kuat. Dalam dua tahun tersebut, bukannya penerimaan tak tumbuh, tetap tumbuh, tapi tumbuh siginifikannya, hasil dari reformasi yang dilakukan. Kita jangan melulu berpikiran untuk jangka pendek saja," katanya.
Hal serupa diungkapkan Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako yang mengatakan tanpa pembenahan dan gebrakan baru, target pajak yang tinggi menjadi sesuatu yang tidak masuk akal untuk tercapai.
Ia menambahkan penerimaan pajak selama ini tidak tercapai karena minimnya partisipasi masyarakat Indonesia dalam membayar pajak, padahal potensi pajak berbanding dengan jumlah penduduk Indonesia, sangat besar.
"Dari 250 juta penduduk, yang punya penghasilan dan wajib bayar pajak itu sekitar 50 persen. Tapi yang terdaftar hanya 30 juta saja, dan itupun yang patuh membayar pajak hanya tiga juta saja. Ini perlu kebijakan khusus," kata Ronny.
Menurut Ronny, sejauh ini sistem perpajakan Indonesia memiliki kelemahan dalam mengindentifikasi siapa saja yang wajib membayar pajak, sehingga sistemnya harus dibuat sederhana, misalnya setiap yang memiliki penghasilan harus mempunyai NPWP atau pajak bisa dibayar online dan sebagainya.
Ia mengatakan, salah satu obat untuk mengatasi masalah potensi pajak adalah mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak (Tax Amnesty). Pengampunan pajak yang dimaksud bukanlah menghilangkan kewajiban tunggakan pajak kepada wajib pajak, melainkan memangkasnya agar hanya membayar pajak sekian persen dari tunggakan.
Ronny menyakini hal tersebut mampu mendongkrak partisipasi dari para wajib pajak, sehingga di kemudian hari penerimaan negara dari sektor pajak setiap tahunnya dapat makin bertambah signifikan.
"Jika ada hambatan politik, buat saja dalam bentuk Perppu (peraturan pengganti Undang-undang, karena memang mendesak, kita butuh uang. Setelah diampuni, ke depannya yang masih mengemplang pajak langsung saja dipidana," tambahnya.
Darussalam dalam keterangannya di Jakarta, Senin mengatakan ada tiga tahapan reformasi pajak yang harus dilakukan pemerintah yakni reformasi kelembagaan, administrasi perpajakan, dan aturan perpajakan.
Menurut dia, target penambahan pajak tahun 2015 sebesar Rp600 triliun mustahil bisa diwujudkan tanpa diriingi sejumlah pembenahan struktural yang menjadi penghambat pertumbuhan penerimaan pajak selama ini.
"Sebelum pembenahan tiga hal tersebut dilakukan, jangan banyak berharap penerimaan pajak bisa melonjak. Saat ini, tren pertumbuhan pajak dari tahun ke tahun hanya 10 persen hingga 20 persen, jadi tidak mungkin bisa tumbuh Rp600 triliun yang artinya tumbuh mencapai 50 persen tanpa ada pembenahan," katanya.
Ia menambahkan idealnya kebijakan pembenahan dan reformasi tersebut diikuti dengan langkah intensifikasi yang akan mendorong ekstensifikasi pajak, apalagi secara tidak langsung subyek pajak dari orang pribadi atau perusahaan dapat bertambah.
Darussalam ikut menyarankan, Direktur Jenderal Pajak yang baru dari hasil seleksi terbuka jabatan, tidak dibebani terlebih dahulu dengan target pajak yang tinggi, karena pembenahan tiga hal tersebut membutuhkan waktu setidaknya dua tahun.
Namun, pengamat Danny Darussalam Tax Center ini mengapresiasi proses seleksi terbuka jabatan Direktur Jenderal Pajak yang berlangsung transparan dengan Tim Panitia Seleksi yang memiliki integritas serta melibatkan PPATK/KPK.
"Ini demi membangun pondasi awal perpajakan yang kuat. Dalam dua tahun tersebut, bukannya penerimaan tak tumbuh, tetap tumbuh, tapi tumbuh siginifikannya, hasil dari reformasi yang dilakukan. Kita jangan melulu berpikiran untuk jangka pendek saja," katanya.
Hal serupa diungkapkan Pengamat Pajak dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako yang mengatakan tanpa pembenahan dan gebrakan baru, target pajak yang tinggi menjadi sesuatu yang tidak masuk akal untuk tercapai.
Ia menambahkan penerimaan pajak selama ini tidak tercapai karena minimnya partisipasi masyarakat Indonesia dalam membayar pajak, padahal potensi pajak berbanding dengan jumlah penduduk Indonesia, sangat besar.
"Dari 250 juta penduduk, yang punya penghasilan dan wajib bayar pajak itu sekitar 50 persen. Tapi yang terdaftar hanya 30 juta saja, dan itupun yang patuh membayar pajak hanya tiga juta saja. Ini perlu kebijakan khusus," kata Ronny.
Menurut Ronny, sejauh ini sistem perpajakan Indonesia memiliki kelemahan dalam mengindentifikasi siapa saja yang wajib membayar pajak, sehingga sistemnya harus dibuat sederhana, misalnya setiap yang memiliki penghasilan harus mempunyai NPWP atau pajak bisa dibayar online dan sebagainya.
Ia mengatakan, salah satu obat untuk mengatasi masalah potensi pajak adalah mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak (Tax Amnesty). Pengampunan pajak yang dimaksud bukanlah menghilangkan kewajiban tunggakan pajak kepada wajib pajak, melainkan memangkasnya agar hanya membayar pajak sekian persen dari tunggakan.
Ronny menyakini hal tersebut mampu mendongkrak partisipasi dari para wajib pajak, sehingga di kemudian hari penerimaan negara dari sektor pajak setiap tahunnya dapat makin bertambah signifikan.
"Jika ada hambatan politik, buat saja dalam bentuk Perppu (peraturan pengganti Undang-undang, karena memang mendesak, kita butuh uang. Setelah diampuni, ke depannya yang masih mengemplang pajak langsung saja dipidana," tambahnya.
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2014
0 komentar:
Posting Komentar