Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) berharap agar kunjungan "blusukan"
Presiden Joko Widodo ke lokasi kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten
Oga Komering Ilir, Sumatera Selatan pada Minggu (6/9) tidak hanya
berakhir sebagai seremoni semata yang tak menuntaskan bencana asap.
"Walhi
Sumsel mengapresiasi kehadiran Presiden, apalagi niatnya untuk
merasakan langsung penderitaan rakyat Sumatera Selatan akibat kebakaran
dan kabut asap yang merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang
terus mengeksploitasi hutan dan lahan gambut. Namun blusukan yang
dilakukan Presiden ini tidak akan membuat perubahan yang signifikan
terhadap kondisi lingkungan hidup dan rakyat di Sumatera Selatan, yang
saat ini hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehatnya terampas
oleh Kebijakan negara," kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumsel Hadi
Jatmiko pada Antara News melalui pesan singkat, Senin.
Hadi menambahkan, kunjungan Presiden lemah implementasi pasalnya, dalam
kunjungan tersebut, Presiden Jokowi dinilai hanya mengulang empat
instruksi yang pernah dikeluarkan saat dia berkunjung ke Riau.
"Dulu, saat berkunjung ke Riau Jokowi menyatakan bahwa 2015 Indonesia
harus bebas asap. Namun nyatanya asap masih terus menyelimuti Indonesia
dan tambah parah. Salah satu penyebabnya adalah instruksi yang diberikan
Presiden tidak dijalankan dengan baik oleh pejabat di bawahnya baik
pusat maupun daerah. Yang dilakukan oleh pejabat di bawahnya hanya
sebatas melakukan hal-hal teknis seperti memadamkan api saat sudah
terjadi kebakaran, tetapi tidak melakukan upaya-upaya strategis yang
selama ini selalu absen dilakukan oleh negara atau pemerintah, yaitu
penegakan hukum dan peninjauan perijinan terhadap perusahaan perusahaan
yang membakar lahan dan hutan. Jika pun ada penegakan hukum, pemerintah
tidak berani menyentuh perusahaan-perusahaan besar seperti perusahaan
Perkebunan kayu miliknya Asia pulp and paper seperti PT. Bumi Mekar
Hijau, di Ogan Komering Ilir yang telah merugikan negara mencapai Rp7,9
triliun dan PT. Rimba Hutani Mas di kabupaten Musi Banyuasin yang sejak
2014 sampai dengan saat kunjungan Jokowi di sumsel kemarin, di lahan ini
masih terus ditemukan titik api," katanya.
Walhi menilai penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat
penegak hukum hanya diberlakukan untuk masyarakat kecil dan menjadikan
mereka kambing hitam atas bencana kabut asap.
Padahal, berdasarkan monitoring yang Dilakukan Walhi Sumsel, hotspot
terbanyak sejak bulan Agustus - September 2015 berada di 18 perusahaan
HTI dan 60 perusahaan perkebunan yang tersebar di Sumsel.
Walhi meminta agar pemerintah menutup kanal-kanal yang dibuat perusahaan
di lahan dan hutan gambut di Sumatera Selatan, sehingga gambut tidak
kering dan terbakar.
"Untuk itu, Presiden harus memimpin langsung upaya penegakan hukum dan
review perizinan yang selama ini selalu absen dilakukan oleh pejabat di
bawahnya dan di daerah tanpa tebang pilih, khusunya terhadap
perusahaan-perusahaan besar yang selama ini diuntungkan oleh pembakaran
yang dilakukan selama ini," katanya.
Selain itu, Presiden juga harus aktif melakukan monitoring terhadap
perusahaan-perusahaan yang saat ini sedang diadili dan diproses hukumnya
baik di pengadilan maupun oleh penegak hukum kepolisian.
"Kami melihat upaya upaya penegakan hukum baik pidana maupun
perdata yang dilakukan oleh pemerintah dan penegak hukum tidak serius.
Presiden juga harus memerintahkan rehabilitasi lahan dan hutan yang
terbakar dan melakaukan penutupan kanal kanal terhadap lahan dan hutan
gambut yang telah dikeringkan oleh perusahaan. Selain itu, Presiden
harus melakukan moratorium izin terhadap wilayah yang merupakan ekologi
genting, penting dan unik dan diikuti upaya penegakan hukum terhadap
pelaku pelanggaran," katanya.
Selanjutnya, Walhi mendesak agar pemerintah memberikan penguasaan dan
pengelolaan lahan dan hutan gambut, baik yang belum dikuasai oleh
perusahaan maupun yang izinnya telah dicabut oleh pemerintah kepada
rakyat yang terbukti mampu mengelola dan melindungi gambut secara adil
dan lestari serta memberikan rakyat akses teknologi pertanian yang ramah
lingkungan.
"Kami juga mendesak agar kejahatan lingkungan hidup dijadikan sebagai
kejahatan luar biasa dengan membentuk pengadilan khusus lingkungan hidup
di Indonesia," katanya.
Selasa, 08 September 2015
Blusukan kabut asap Jokowi menuju pengadilan kejahatan lingkungan hidup
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2015
0 komentar:
Posting Komentar