Jakarta (ANTARA News) - Nilai tukar rupiah yang terus berfluktuasi dan
cenderung melemah terhadap dolar AS sejak awal tahun 2015, membuat cemas
pelaku pasar keuangan, meskipun pemerintah serta Bank Indonesia
berupaya menyakinkan fenomena ini tidak perlu dikhawatirkan.
Beberapa faktor diyakini menjadi penyebab pelemahan kurs rupiah
antara lain faktor membaiknya perekonomian di Amerika Serikat serta
ketidakpastian waktu penyesuaian suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS
(The Fed), pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan gejolak
politik nasional yang belum reda pascapemilihan umum.
Pemerintah tidak bisa mengatasi tekanan eksternal yang menyebabkan
nilai tukar rupiah saat ini berada pada kisaran Rp13.000 per dolar AS,
namun upaya menjaga stabilitas mata uang telah dilakukan dengan
memperbaiki neraca transaksi berjalan.
Untuk itu, pemerintah menerbitkan paket kebijakan ekonomi yang
selain memperbaiki kinerja neraca transaksi berjalan, juga bertujuan
untuk menjaga harapan pasar, meredam gejolak rupiah serta mengupayakan
stabilitas perekonomian nasional secara keseluruhan.
Kebijakan yang bersifat regulatif ini antara lain merevisi
peraturan mengenai "tax allowance" salah satunya untuk mengupayakan
reinvestasi keuntungan di dalam negeri, memberikan insentif bagi
perusahaan yang melakukan "research and development" serta membebaskan
PPN galangan kapal sebagai upaya pembenahan sektor logistik.
Selain itu, kebijakan yang fokusnya untuk menyelesaikan masalah
jangka pendek ini adalah memberikan fleksbilitas bea masuk anti dumping
sementara, membebaskan visa untuk turis dari 45 negara, dan mewajibkan
penggunaan 15 persen biofuel untuk menekan impor solar.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengatakan
penerbitan paket ekonomi tersebut dilakukan, karena pemerintah hanya
bisa berupaya melakukan pembenahan fundamental ekonomi agar rupiah tidak
lagi berfluktuasi dan situasi tetap normal.
"Yang penting kondisi ekonomi diperbaiki, tidak ada gunanya kita
lakukan intervensi pasar. Kalau kita intervensi dan cadangan devisa
habis sementara rupiah tidak bisa menguat, tidak ada gunanya, maka yang
perlu diperbaiki kondisi perekonomian kita," katanya.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menambahkan kebijakan ini
bertujuan untuk menjaga agar rupiah tidak terlalu bergejolak, karena
negara-negara yang relatif stabil terhadap tekanan eksternal dan mata
uangnya tidak berfluktuasi tajam terhadap dolar AS, memiliki
pengendalian neraca transaksi berjalan yang memadai.
"Negara-negara yang mengalami pelemahan mata uang terhadap dolar AS
lebih kecil dari rupiah atau yang mengalami apresiasi adalah
negara-negara yang defisit neraca transaksi berjalannya lebih kecil atau
tren menurun, sehingga secara tidak langsung kita harus membereskan
masalah neraca transaksi berjalan," katanya.
Bambang mengatakan berbagai kebijakan ini dalam jangka pendek akan
memperbaiki kinerja neraca perdagangan serta neraca jasa dan pendapatan,
yang selama ini dominan menyumbang defisit dalam neraca transaksi
berjalan.
Bank Indonesia memperkirakan defisit neraca transaksi berjalan
berada pada kisaran 2,5 persen-3 persen terhadap PDB pada 2015, apalagi
neraca perdagangan pada awal tahun masih tercatat surplus 1,48 miliar
dolar AS.
Menanti Hasil
Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Edimon Ginting mengatakan
pengelolaan neraca transaksi berjalan Indonesia yang masih tercatat
defisit bisa mengatasi masalah fluktuasi kurs rupiah agar tidak melemah
terlalu tajam terhadap dolar AS.
"Kalau (neraca transaksi berjalan) itu belum menunjukkan perbaikan
secara signifikan, rupiah akan sulit untuk menguat secara signifikan
juga," ujar Deputi Direktur Wilayah ADB untuk Indonesia ini saat ditemui
di Jakarta.
Edimon menjelaskan defisit neraca transaksi berjalan merupakan
salah satu faktor yang membuat volatilitas rupiah cenderung melemah
terhadap dolar AS dan kebijakan pemerintah untuk mengatasi masalah itu
melalui paket ekonomi sudah tepat.
"Kita memang memiliki ketahanan di cadangan devisa, tapi rupiah
melemah ini karena recovery neraca transaksi berjalan yang lambat,
selain karena penguatan dolar AS. India sudah merespon masalah ini
dengan kebijakan," katanya.
Edimon mengatakan paket yang salah satunya dibuat untuk mengatasi
masalah repatriasi devisa bisa sangat efektif untuk menekan defisit pada
neraca jasa dan pendapatan, meskipun paket kebijakan ini bukan hal yang
utama bagi para investor.
"Neraca transaksi berjalan banyak disumbang dari repatriasi
dividen, jadi insentif ini memang good policy. Tapi sebenarnya yang
lebih penting adalah kepercayaan investor terhadap pemerintah dengan
adanya reformasi dan perbaikan efisiensi," jelasnya.
Edimon menambahkan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
yang saat ini sedang terjadi, tidak terlalu mengkhawatirkan para
investor di pasar keuangan, asalkan situasinya masih mencerminkan
kondisi fundamental.
"Selama pergerakannya masih merefleksikan fundamentalnya dan
sejalan dengan proyeksi investor, maka mereka tidak akan pergi (menarik
dana keluar Indonesia), tapi kalau betul-betul di luar proyeksi akan
membuat mereka khawatir," katanya.
ADB meramalkan Indonesia bisa mengatasi masalah defisit transaksi
berjalan dalam dua tahun mendatang, dengan proyeksi 2,8 persen terhadap
PDB pada 2015 dan 2,4 persen terhadap PDB pada 2016. Perkiraan ini lebih
rendah dari realisasi 2014 yang mencapai 3,0 persen terhadap PDB.
Direktur Institute Development of Economics dan Finance (Indef)
Enny Sri Hartati memperkirakan langkah kebijakan pemerintah untuk
memperbaiki reformasi struktural ekonomi agar kinerja rupiah tidak makin
melemah dan mengurangi defisit transaksi berjalan, belum bisa
menyelesaikan masalah.
Menurut dia, kebijakan yang diumumkan tersebut merupakan kebijakan
"daur ulang" atau kebijakan lama yang berulang, sehingga tidak bisa
memberikan citra positif kepada pelaku pasar, karena implementasinya
belum tentu memperbaiki fundamental perekonomian dalam waktu cepat.
"Kita lihat dalam sebulan, ini cukup menenangkan atau tidak. Cukup
efektif dan meredam kepanikan pelaku bisnis, itu tergantung konsistensi
dan konkret atau tidaknya langkah-langkah tersebut. Kalau benar-benar
konkret, ini akan memberikan sentimen positif. Kalau dunia usaha
memberikan sentimen positif, minimal sekali itu tidak menimbulkan
spekulasi terhadap dolar," ujar Enny.
Ia bahkan memproyeksikan, dengan adanya berbagai tekanan eksternal
maupun internal ini, nilai tukar rupiah akan menuju ke level
keseimbangan baru pada kisaran Rp12.500-Rp.13.000 per dolar AS, atau
semakin menjauhi proyeksi dalam APBN-Perubahan 2015.
Namun, lanjut Enny, apabila kebijakan stimulus fiskal yang
dikeluarkan tidak efektif dan pemerintah tidak cukup cermat dalam
menjalankannya, maka pelemahan kurs rupiah akan sulit berhenti dan terus
berlangsung sampai akhir tahun.
Dengan demikian, hal yang bisa dilakukan saat ini adalah menunggu
dampak positif dari implementasi kebijakan pemerintah tersebut, karena
meskipun ini merupakan kebijakan jangka pendek, namun hasilnya belum
bisa dirasakan selama rupiah masih terus berfluktuasi.
Senin, 06 April 2015
Menanti hasil pembenahan struktural jaga stabilitas rupiah
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2015
0 komentar:
Posting Komentar