Bangkok (ANTARA News) - Pemerintahan militer Thailand pada Kamis
melakukan pembicaraan rekonsiliasi dengan para pemimpin partai Puea Thai
yang digulingkannya dari kekuasaan setahun lalu, juga dengan
politisi-politisi lainnya, para akademisi serta mahasiswa-mahasiswa
pegiat.
Perundingan itu, yang dilangsungkan di lokasi kudeta oleh militer
pada Mei 2014, terjadi di saat Thailand sedang membahas rancangan
undang-undang dasar (UUD), yang dikatakan junta akan membantu negara itu
menangani perpecahan-perpecahan yang mendalam. Namun, partai-partai
dari kedua belah pihak telah mengecamnya sebagai langkah yang tidak
demokratis, lapor Reuters.
Para anggota Partai Demokrat, yang konservatif, juga hadir pada
pertemuan itu. Sejumlah peserta meminta agar piagam rancangan
undang-undang ditentukan melalui pemungutan suara.
Thailand perlu memiliki UUD yang bisa diterima semua pihak, kata
Jatuporn Prompan, seorang pemimpin gerakan oposisi kaos merah dan bekas
anggota parlemen asal partai Puea Thai.
"Kalau publik tidak setuju, kita harus memperbaiki undang-undang,"
kata Jatuporn, yang hadir pada pertemuan, kepada Reuters.
"Bahkan kalau ini berarti (kita) menghabiskan waktu satu atau dua tahun
lagi, tetap lebih baik dibandingkan bergerak maju ke tempat
masalah-masalah sedang menunggu."
Penguasa militer Thailand mengatakan bahwa pemilihan umum akan
diselenggarakan pada 2016 namun mereka memperingatkan bahwa upaya
demokrasi bisa terdorong mundur jika negara itu mengadakan referendum.
Para pengecam mengatakan ketentuan dalam piagam tersebut --mengenai
keterwakilan yang sebanding-- akan mengarah pada munculnya pemerintahan
koalisi yang lemah.
Mereka mengatakan piagam merupakan upaya untuk memastikan
terbatasnya kekuasaan bagi pemerintahan di masa depan yang bersekutu
dengan mantan perdana menteri terguling, Thaksin Shinawatra.
UUD juga termasuk pengekangan terhadap kebijakan-kebijakan yang
bergaya populis, seperti yang dijalankan oleh Thaksin dan saudara
perempuannya, Yingluck, yang pernah memimpin Puea Thai.
Pemerintahan Yingluck digulingkan melalui kudeta pada 2014 sementara Thaksin juga menjadi korban kudeta pada 2006.
Junta sendiri telah dihujani kritik atas langkahnya mencabut status
darurat militer dan menggantinya dengan peraturan perundang-undangan
sementara, yang disebut bab 44, yang memberikan kekuasaan luas kepada
militer.
Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang, sebagai panglima militer,
memimpin kudeta pada Mei lalu, mengatakan kepada para wartawan bahwa ia
tidak akan menggunakan pasal keamanan untuk memaksakan rekonsiliasi.
"Rekonsiliasi harus datang dari hati masing-masing individu."
(Uu.T008)
Jumat, 24 April 2015
Pemerintah Thailand bicara rekonsiliasi dengan politisi, pegiat
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2015
0 komentar:
Posting Komentar