Surabaya (ANTARA News) - Peneliti terorisme dari Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Prof Akh Muzakki PhD, menegaskan kelompok
bersenjata ISIS menargetkan teror menjelang Natal 2015 hingga Tahun Baru
2016 di Indonesia.
"Jaringan yang digerebek Densus 88 di Mojokerto (Jatim), Sukoharjo
(Jateng), dan Gresik (Jatim) pada 19-20 Desember 2015 itu pemain baru
dari ISIS," kata alumnus The Australian National University itu, di
Surabaya, Selasa.
Menurut peneliti Islam Kontemporer, Liberalisme, Anti-Liberalisme,
Media Islam, dan Pendidikan Karakter itu, kelompok bersenjata ISIS yang
berada di Indonesia itu merupakan metamorfosis dari jaringan Al-Qaeda
yang "hilang" dengan tewasnya Osama bin Laden.
"Bedanya, pengikut Al-Qaeda itu dari kelompok yang miskin,
sedangkan pengikut ISIS dari kelompok yang relatif mapan, seperti
dokter, pimpinan operator seluler, pilot, dan kalangan profesional
lainnya, tapi pengikut keduanya sama-sama minim dalam aspek keagamaan,"
katanya.
Selain itu, kelompok bersenjata ISIS di Indonesia itu terbelah
antara pengikut Ustaz Abubakar Baasyir dan pengikut Ustaz Ikhwan yang
keduanya pun bermusuhan. "Yang menarik, pengikut ISIS itu bisa melakukan
bai'at secara daring (online)," katanya.
Namun, pengikut Al-Qaeda dan ISIS sama-sama suka cari perhatian dan
menganggap kelompok di luar mereka sebagai bukan Islam dan wajib
diperangi. "Karena itu, mereka akan memanfaatkan momentum seperti hari
raya dan pergantian tahun," katanya.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UINSA Surabaya itu
menyatakan pengikut ISIS di Indonesia umumnya merupakan pemain baru,
karena nama mereka tidak dikenal sebelumnya dan buku-buku yang disita
aparat dari berbagai penggeledahan menunjukkan buku-buku ISIS dari
kelompok pemula.
"Untuk memerangi ISIS, saya kira tidak bisa dengan hukum positif
semata, karena mereka yang berjihad itu akan bisa mengorbankan apapun,
baik harta maupun jiwa pun siap dikorbankan," kata dia.
Oleh karena itu, pemerintah harus melibatkan aparat dan organisasi keagamaan serta organisasi sosial, termasuk kalangan kampus, untuk melakukan "re-evaluasi" terhadap kelompok radikal itu melalui pembagian tugas yang terencana. "Kita bisa meniru cara Gus Dur yang melawan secara hukum, sekaligus sosial," katanya.
Ia menambahkan cara-cara hukum mungkin dapat menjadi cara antisipasi dalam jangka pendek, namun cara-cara sosial yang melibatkan kelompok masyarakat sipil akan dapat menjadi cara antisipasi dalam jangka panjang, termasuk kurikulum pendidikan anti-radikalisme.
0 komentar:
Posting Komentar