Jakarta
(ANTARA News) - Inilah presiden baru tanpa bulan madu. Sebuah tamsil
yang pas untuk Joko Widodo-Jusuf Kalla. Seruannya di malam kemenangan
untuk jangan bikin perayaan, dan salam dua jari yang harus langsung
diubah menjadi salam tiga jari, menandakan pengantin baru ini
benar-benar tidak punya waktu untuk honey moon.
Saya
mendukung semua itu. Tentu saya juga memahami kalau sebagian relawan
sewot. Ada di antara mereka yang berpendapat sewajarnyalah sebuah kerja
keras yang membuahkan hasil gemilang dirayakan.
Ada
beberapa faktor yang membuat sebaiknya memang tidak diperlukan bulan
madu. Pertama, kemenangan Jokowi adalah kemenangan tipis, 53 persen.
Beda dengan Pak SBY yang menang lebih dari 60 persen.
Kedua,
pesaing Jokowi tidak menerima kekalahannya dengan legowo. Bahkan
kelihatannya berbagai usaha untuk menggagalkan kemenangan itu akan
dilakukan di semua front: hukum dan politik.
Ketiga,
kondisi ekonomi lagi sangat kurang baik: kurs rupiah, defisit neraca
perdagangan/pembayaran, ancaman defisit anggaran, besarnya subsidi
energi, dan banyak lagi.
Kini semua itu harus diselesaikan dengan kerja. Tidak bisa lagi dengan pidato atau selebaran.
Maka
sudah sewajarnya Jokowi-JK tidak menghabiskan waktu untuk berbulan
madu. Harus langsung kerja. Pekerjaan pertama adalah menjalin kerja sama
dengan pemerintah yang sekarang. Terutama untuk menggodok RAPBN tahun
depan.
Pengajuan
RAPBN tahun 2015 adalah wewenang Presiden SBY. Namun yang akan
melaksanakan APBN itu adalah Presiden Jokowi. Jangan sampai Pak Jokowi
bekerja berdasarkan anggaran yang dia tidak tahu alokasinya. Kalau
sampai itu terjadi bisa-bisa dia tidak bisa mengerjakan apa yang dia
janjikan dalam kampanyenya selama ini.
Padahal
janji kampanye itu akan ditagih. Penagihannya pun kelihatannya akan
sangat keras. Ingat, Koalisi Merah-Putih akan memelototi semua janji
Jokowi dengan mata sampai mendelik. Mereka yang saat ini memosisikan
diri sebagai relawan, bisa berubah menjadi kelompok kritis yang
mencermati kebijakan-kebijakan pemerintah baru.
Beruntung
bahwa Pak SBY menunjukkan niat yang sangat baik untuk mengajak presiden
terpilih ikut menyiapkan RAPBN tahun 2015. Meski Pak Jokowi baru akan
dilantik 20 Oktober, Pak SBY akan mengajak presiden terpilih
membahasnya.
RAPBN
2015 sekarang sedang disusun dan akan diajukan ke DPR bulan depan.
Tidak boleh telat. Pak Jokowi harus memasukkan program utamanya dalam
RAPBN itu sehingga tersedia anggaran untuk melaksanakannya tahun depan.
Misalnya,
di bidang kesehatan. Tahun ini anggaran BPJS kesehatan hanya Rp16,5
triliun. Akibatnya tidak memuaskan. Banyak sekali komplain dari pasien
maupun dokter. Saya menghitung harusnya bidang itu diberi anggaran Rp35
triliun. Ini tidak besar, mengingat yang menikmati seluruh rakyat
Indonesia. Bukan hanya segelintir koruptor.
"Menolong orang miskin jangan tanggung-tanggung," ujar Pak SBY pada suatu saat.
Contoh
lain, anggaran untuk pesantren, PAUD, dan sekolah swasta. APBN bidang
pendidikan itu besarnya seperti gajah bengkak. Sudah waktunya dialirkan
sampai jauh ke pesantren dan PAUD. Dan itu harus dialokasikan sekarang,
dalam RAPBN 2015.
Demikian
juga anggaran riset, subsidi pupuk, benih, dan seterusnya. Dengan
demikian tahun depan Presiden Jokowi bisa langsung bekerja.
Di
bidang politik, agenda besarnya adalah penggantian hampir semua anggota
BPK. Beda dengan KPK dan OJK, DPR sepenuhnya memiliki wewenang
melakukan pendaftaran, menyeleksi, dan memilih anggota BPK. KPK dan OJK
yang menyeleksi adalah lembaga independen. Hasil seleksi diajukan ke DPR
untuk dipilih.
Untuk
BPK semuanya sepenuhnya di DPR. Transaksi politik akan luar biasa
serunya. Pemerintah Pak Jokowi akan jadi sasaran pemeriksaan yang sangat
politis kalau semua anggota BPK yang terpilih adalah dari kalangan
oposisi. Bisa saja terjadi saling umpan bola antara BPK dan DPR yang
akan sangat menyulitkan jalannya pemerintahan.
Maka
sungguh pantas dipertimbangkan agar ada "kuota" keanggotaan di BPK.
Misalnya, 50 persen kuota diberikan untuk pejabat karir yang sudah
puluhan tahun bekerja sebagai auditor di BPK atau BPKP, baru 50
persennya kuota untuk non karir. Dengan demikian akan ada batasan agar
BPK tidak dijadikan arena politik. Atau bahkan ada kombinasi prosentasi
lain yang lebih hebat lagi.
Benar-benar pemerintahan baru yang tidak perlu berbulan madu, tidak bisa berbulan madu, dan tidak sempat berbulan madu. (*)
Editor: B Kunto Wibisono
0 komentar:
Posting Komentar