Jakarta (ANTARA News) - Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah ada selama 10 tahun atau dua periode di
DPR, tetapi tak kunjung dibahas.
Tampaknya terdapat tarik ulur kepentingan yang cukup kuat di dalam
parlemen sehingga RUU tersebut tak kunjung dibahas dan disahkan.
Karena itu, melihat pentingnya RUU tersebut segera disahkan menjadi
undang-undang, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala
PRT) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak DPR periode
2014-2019 untuk memasukkan RUU PRT dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) serta segera mengesahkan menjadi undang-undang.
Pengesahan RUU tersebut dinilai mendesak karena masih banyak
permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian hak-haknya dan kasus
kekerasan.
Pantauan Jala PRT melalui pendampingan dan pemberitaan media, pada
2014 terjadi 408 kasus kekerasan terhadap PRT. Sebanyak 90 persen
merupakan multikasus mulai dari kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan
perdagangan manusia, dengan pelaku majikan dan agen penyalur.
Dari seluruh kasus tersebut, 85 persen terhenti proses hukumnya di
kepolisian. Hal itu dinilai tidak menimbulkan efek jera sehingga
kekerasan terhadap PRT terulang.
"Pengesahan RUU PPRT sudah sangat mendesak. Selama ini PRT
seringkali bekerja dalam situasi yang mengecualikan hak-haknya," kata
Koordinator Jala PRT Lita Anggraini.
Lita mengatakan banyak PRT yang tidak mendapatkan upah layak. Dia
mencontohkan ada PRT di Jakarta yang sudah bekerja selama tujuh tahun
masih hanya menerima gaji Rp700 ribu dan tidak mendapatkan libur karena
selama ini tinggal di rumah majikan.
Selain itu, PRT juga rentan terhadap kekerasan. Masih di Jakarta,
terdapat kejadian PRT dipukuli dan diperintah majikan untuk menjilat
susu yang tumpah ke lantai.
"Namun, kasus-kasus itu seringkali dihentikan oleh kepolisian atau
ditolak oleh pengadilan. Karena itu, kami mendesak RUU PPRT disahkan
setelah dua periode seolah sengaja diabaikan oleh DPR," tuturnya.
Sementara itu, pengacara publik dari LBH Jakarta Pratiwi Febry
mengatakan pengesahan RUU PPRT akan banyak membawa perubahan, termasuk
dalam menciptakan kemandirian anak dalam keluarga.
"Selama ini, PRT sering harus membantu anak menyiapkan baju seragam
dan sepatu sekolah anak hingga menyusun buku-buku pelajarannya. Adanya
UU PPRT akan bisa mendorong kemandirian anak," katanya.
Karena masih banyak permasalahan yang dialami PRT terkait pemberian
hak-haknya dan kasus kekerasan, maka Jala PRT dan LBH Jakarta menilai
pengesahan RUU PPRT.
Lita Anggraini mengatakan pemberian hak-hak PRT harus dilakukan
dengan mengakui bahwa PRT adalah pekerja. Selama ini, PRT tidak dianggap
sebagai pekerja sehingga hak-haknya diabaikan.
"PRT selama ini tidak mendapatkan hak-haknya, seperti upah yang
layak dan hari libur, karena selama ini tidak diakui sebagai pekerja,"
kata Lita.
Hak lain yang selama tidak diperoleh PRT adalah jaminan sosial
ketenagakerjaan. Karena tidak diakui sebagai pekerja maka selama ini PRT
tidak mendapatkan jaminan sosial ketenagakerjaan.
Karena itu, bila Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah
Tangga (RUU PPRT) disahkan, Jala PRT mendesak didalamnya mengatur
keikutsertaan PRT dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Ketenagakerjaan.
"Hak PRT untuk berkomunikasi dan berorganisasi juga selama ini
tidak pernah diberikan. Masih banyak majikan yang melarang PRT untuk
berorganisasi," tuturnya.
Hak lain yang selama ini seringkali diabaikan adalah hak PRT atas
keamanan dan keselamatan kerja. Terjadi beberapa kasus PRT yang bekerja
di apartemen dikunci di dalam oleh majikan ketika pergi.
"Tentu membahayakan bila terjadi kebakaran karena PRT tidak bisa
keluar. Selama ini PRT juga tidak pernah mendapatkan pelatihan untuk
menghadapi kebakaran dan sebagainya. Pekerjaan PRT masih dianggap tanpa
risiko," katanya.
Legislator Tak Profesional
Sementara itu, Pratiwi Febry mengatakan anggota DPR di Komisi IX
dan Badan Legislasi banyak yang tidak profesional dalam membahas RUU
PPRT sehingga tak kunjung disahkan menjadi undang-undang.
"Mereka tidak menempatkan diri sebagai anggota DPR, tetapi majikan
sehingga mereka berpikir RUU itu bisa berdampak kepada mereka untuk
harus memberikan upah yang lebih besar," kata Pratiwi.
Hambatan lain dalam pengesahan RUU PPRT di DPR adalah adanya
anggapan bahwa hubungan kerja antara majikan dengan PRT yang bersifat
kekeluargaan. RUU PPRT dikhawatirkan bisa merusak kekeluargaan yang
menjadi ciri Indonesia.
"Itu semua harus diubah. PRT harus diakui sebagai pekerja sehingga
hak-haknya diberikan. Jangan karena dianggap sebagai relasi keluarga,
lalu PRT tidak dibayar layak," tuturnya.
Padahal, Pratiwi mengatakan beberapa federasi pekerja sudah
mengakui PRT sebagai pekerja dan mendesak pemberian upah berdasarkan jam
kerja.
"PRT sekarang sudah tidak hanya bekerja di keluarga kelas menengah
atas, tetapi juga keluarga menengah seperti buruh yang selama ini juga
memperjuangkan upah layak," tukasnya.
Karena itu, Kepala Divisi Migrasi, Trafficking dan HIV/AIDS Nisaa
Yura mengatakan diperlukan perubahan paradigma kolektif untuk mengakui
PRT sebagai pekerja.
"Permasalahan yang dihadapi PRT selama ini adalah adanya paradigma
kolektif yang belum mengakui PRT sebagai pekerja," kata Nisaa Yura.
Nisaa mengatakan masih banyak orang yang selama ini menganggap PRT
bukan pekerjaan yang penting sehingga hak-haknya diabaikan. Padahal,
majikan bisa bekerja dengan tenang di sektor publik karena di rumahnya
sudah ada PRT yang mengerjakan pekerjaan rumah.
Paradigma kolektif yang menganggap PRT bukan pekerjaan penting
tidak hanya berdampak pada PRT di Indonesia. Nisaa mengatakan hal itu
juga berdampak pada pekerja migran yang bekerja di luar negeri sebagai
PRT.
"Karena masih ada paradigma kolektif itu, diplomasi Indonesia juga
belum memprioritaskan kasus-kasus yang membelit PRT migran di luar
negeri," tuturnya.
Karena itu, selain mendesak DPR untuk mengesahkan Rancangan
Undang-Undang Perlindungan PRT (RUU PPRT), Solidaritas Perempuan juga
mendesak pemerintah untuk meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh
Internasional (ILO) Nomor 189 tentang PRT.
"Presiden Indonesia termasuk yang mendukung Konvensi ini, tetapi
Indonesia malah belum meratifikasi menjadi undang-undang, " ujarnya.
Dibahas Januari
Sementara itu, anggota Komisi IX dan Badan Legislasi DPR Rieke Diah
Pitaloka mengatakan akan mengupayakan RUU PPRT masuk ke dalam Prolegnas
dalam persidangan DPR pada Januari 2015.
"Sikap PDI Perjuangan tidak berubah. Dalam rapat kerja nasional,
RUU PPRT tetap menjadi prioritas di parlemen," kata Rieke Diah Pitaloka.
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan RUU tersebut sudah ada dalam
agenda DPR periode sebelumnya, tetapi saat itu dukungan anggota
parlemen lainnya kurang kuat.
Karena itu, Rieke mengatakan dalam upaya mendapat dukungan lebih
besar untuk mengesahkan RUU PPRT, dia akan melakukan koordinasi baik di
Baleg maupun Komisi IX.
"Karena tidak bisa bila yang berjuang hanya satu atau dua orang
saja. Pengesahan RUU ini perlu dukungan yang kuat dari anggota parlemen
lainnya," tuturnya.
Menurut Rieke, pengesahan RUU tersebut sangat mendesak karena
hubungan antara majikan dengan PRT saat ini masih sangat mengedepankan
kultur feodalisme.
Senin, 15 Desember 2014
Kekerasan terhadap PRT luar biasa namun DPR tak sahkan RUU PPRT
Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2014
0 komentar:
Posting Komentar