Dalam
konteks pelaksanaan demokrasi, pers telah diposisikan sebagai pilar
keempat dalam pembangunan bangsa setelah lembaga eksekutif, legislatif
dan yudikatif. Dengan posisi seperti itu, kita selalu berharap bahwa
pers senantiasa menjadi instrumen penting dalam pembangunan bangsa dalam
hal menyajikan informasi kepada masyarakat. Karena itu, kita harapkan
pers akan menjadi kekuatan utama dalam meningkatkan edukasi
sosial-politik bagi masyarakat luas.
Pertanyaannya
adalah, pers seperti apa yang dapat menjadi pilar pembangunan, tentu
Pers yang Bertanggungjawab. Dalam hal ini pers yang bertanggungjawab
adalah pers yang mampu bersikap netral dengan menyuguhkan berita yang
faktual dan berimbang kepada masyarakat. Pendek kata, pers yang tidak
memihak kepada pihak tertentu atau kelompok kepentingan serta tidak
mempunyai motif untuk keuntungan tertentu, sekalipun itu kepada pemilik
media pers itu sendiri, terkecuali kepada kebenaran dan keseimbangan
informasi itu sendiri. Itulah yang kita harapkan tentang kualitas pers
yang dapat membangun peradaban bangsa.
Sejalan
dengan posisi tersebut, sangat relevan untuk mengangkat Pidato
Pengarahan Presiden SBY (Selasa, 3 Juni 2014) di hadapan rapat
koordinasi para pemangku kepentingan dalam pelaksanaan Pemilihan
Presiden/Wakil Presiden, yaitu Gubernur, Bupati, Walikota, Pangdam,
Kapolda, Pejabat Eselon I di Lingkungan Kemendagri, Mabes TNI dan Polri,
Jaksa Agung, KPU dan Bawaslu dari seluruh Indonesia, serta instansi
terkait. Dalam amanatnya, Presiden SBY menilai bahwa pers dan media
massa sudah terbelah. Pernyataan itu menunjukkan keprihatinan beliau
akan posisi pers dan media massa yang makin menunjukkan ketidaknetralan
alias pemihakan kepada kontestan pasangan Capres/Cawapres tertentu.
Bahkan beliau menyebut, terutama ketika menyaksikan berita-berita
politik yang terkait dengan ajang persaingan Pemilihan Presiden/Wakil
Presiden di Metro TV dan TV One. Bahwa pemberitaan politik kedua media
tersebut sangat menampakan pemihakan kepada pasangan Capres/Cawapres
tertentu. Juga kalau kita membaca media cetak seperti Media Indonesia dan Sindo akan terasa keberpihakannya. Bahkan kalau kita membaca koran Tempo dan Kompas yang selama ini dikenal pers obyektif, kinipun sudah terasa keberpihakannya kepada Capres/Cawapres tertentu.
Tentu
dengan kondisi tersebut membuat kita khawatir, bahwa pers dan media
massa sebagai pilar demokrasi tidak akan menjadi kekuatan pembangunan
bangsa atau pencerah bagi masyarakat politik Indonesia. Ini yang harus
dikoreksi dan disadari oleh semua pihak yang mempunyai keterkaitan
dengan keberadaan dan kebebasan pers, baik itu pemilik, wartawan,
jurnalis, redaktur/editor, pembaca berita, dan masyarakat luas atau
semua komponen yang terkait dengan kehidupan dan kebebasan pers yang
adil dan bermartabat.
Hal
itu penting untuk diungkap dan disuarakan oleh kita semua, karena pers
dan media massa kita seringkali “menyelewengkan kekuatannya” atas nama
kebebasan pers tanpa terukur. Hal itu dapat kita saksikan hari-hari ini
di tengah persaingan dan kampanye pemilihan presiden/wakil presiden,
yaitu dengan mudah kita dapat mengetahui pemihakan media berdasarkan
pengelompokan dukungan pemilik media kepada pasangan capres/cawapres
nomor urut 1 dan dan nomor urut 2.
Itulah kondisi pers dan media massa kita hari-hari ini, makin terjebak dengan “permainan politik praktis” yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan jika mereka amanah sebagai pers dan media massa yang bertanggungjawab. Pers dan media massa kita diharapkan menjadi agen pembangunan yang sungguh dapat memberi kontribusi kuat dalam edukasi sosial dan politik masyarakat kita.
Itulah kondisi pers dan media massa kita hari-hari ini, makin terjebak dengan “permainan politik praktis” yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan jika mereka amanah sebagai pers dan media massa yang bertanggungjawab. Pers dan media massa kita diharapkan menjadi agen pembangunan yang sungguh dapat memberi kontribusi kuat dalam edukasi sosial dan politik masyarakat kita.
Sementara
di lain pihak, pemerintah tidak punya otoritas dalam mengarahkan
apalagi mengendalikan pemberitaan media. Pemerintah tetap berkomitmen
untuk memperkuat pers dan media massa sebagai pilar demokrasi atas dasar
kebebasan yang dimiliki. Itulah komitmen pemerintah, namun di balik
komitmen itu, tampak sekali pers dan media massa kita belum dewasa dalam
memposisikan diri sebagai pilar demokrasi yang mampu memberi kontribusi
kuat dalam pendidikan politik bangsa ini.
Dengan
kondisi seperti itu, apa yang sesungguhnya dapat kita lakukan? Kita
punya punya Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesi (KPI), Menteri Negara
Komunikasi dan Infomasi. Tapi faktanya, semua institusi itu tidak dapat
berbuat banyak dalam menjaga netralitas pers dan media massa demi
terciptanya Pers dan Media Massa yang Bertanggungjawab sebagaimana yang
kita harapkan.
Konteks
inilah yang perlu diangkat sebagai bahan renungan oleh kita semua
terhadap perangkat perundang-undangan yang ada. Ternyata belum mampu
menghasilkan Pers dan Media Massa yang Bertanggungjawab untuk
kepentingan bangsa dan negara. Ke depan pers harus tercipta sebagai
instrumen publik yang dapat mencerahkan masyarakat bangsa seperti yang
diharapkan Presiden SBY, bukan pers dan media massa yang terbelah atau
terpecah berdasarkan kepentingan politik, kepentingan investor atau
pemilik modal. Semoga !!!!!
(Jakarta, 19 Juni 2014, twitter @ibnupurna)
(Jakarta, 19 Juni 2014, twitter @ibnupurna)
0 komentar:
Posting Komentar