Jakarta (ANTARA News) – Komisi
Pemilihan Umum (KPU) mengingatkan lembaga penyiaran nasional dan
jaringan nasional untuk menjunjung independensi dan netralitas dalam
penyiaran dan pemberitaan aktivitas kampanye pasangan capres dan
cawapres menjelang Pemilu Presiden 9 Juli 2014.
Ketua KPU Husni Kamil Manik dalam kepada
para pemimpin redaksi lembaga penyiaran yang diterima Antara di
Jakarta, Selasa, meminta lembaga penyiaran mengedepankan pendidikan
politik kepada masyarakat.
Sebelumnya Komisi Penyiaran Indonesia
(KPI) menyatakan masih mengevaluasi berbagai isi program dan pemberitaan
televisi terkait kampanye calon presiden dan wakil presiden menjelang
Pemilu 9 Juli 2014.
Komisioner KPU Bidang Kelembagaan, Fajar
Arifianto Isnugroho, menyebutkan sampai saat ini KPI telah menyampaikan
teguran tertulis kepada pengelola stasiun televisi TV One dan Metro TV
pada 9 Juni lalu dan mengevaluasi penyiaran pascateguran.
Apabila setelah evaluasi, kedua lembaga
penyiaran tersebut belum mengubah format pemberitaan, KPI akan mengirim
rekomendasi kepada Kementerian Kominfo untuk tidak memperpanjang izin
penyiaran dua televisi berita tersebut.
Fajar berharap catatan pelanggaran yang
dikeluarkan KPI menjadi penilaian penting bagi Kementerian Kominfo untuk
memberikan sanksi atau sebagai pertimbangan perpanjangan izin penyiaran
televisi bersangkutan yang akan berakhir pada 2016.
Ia menyebutkan berdasarkan rekapitulasi
pemberitaan capres dan cawapres yang dikeluarkan KPI periode 19–25 Mei
2014, frekuensi pemberitaan Jokowi-JK di Metro TV sebanyak 184 berita
dan Prabowo-Hatta sebanyak 110 berita. Durasi pemberitaan Jokowi-JK
terhitung 37.577 detik sedangkan dan Prabowo-Hatta 14.561 detik.
Adapun total frekuensi pemberitaan
Jokowi-JK di TV One sebanyak 77 berita sedangkan Prabowo-Hatta 153
berita. Durasi pemberitaan Prabowo-Hatta di TV One juga lebih banyak
dibandingkan dengan Jokowi-JK yakni 36.561 detik berbanding 18.731
detik.
Fajar menyebutkan lembaga penyiaran lain di luar dua stasiun televisi swasta tersebut masih terbilang wajar.
“Di luar TV itu cukup proporsional. SCTV
masih cukup berimbang, Kompas TV masih proporsional meski terlihat ada
keberpihakan,” kata Fajar.
Adapun indikator siaran pemberitaan yang
proporsional, menurut KPI, ialah memberikan kesempatan yang sama dalam
segi durasi dan frekuensi.
Selain itu juga dilihat dari tidak adanya tendensi untuk mengarahkan sehingga tetap menjunjung tinggi asas netralitas, katanya.
Ia mengungkapkan bahwa penyiaran program
atau pemberitaan pemilu yang tak proporsional mulai berlangsung sejak
September 2013 dan kian bertambah menjelang Pemilu Legislatif 9 April
2014 dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 9 Juli 2014.
Ia menyebutkan enam stasiun televisi
yang menyiarkan pemberitaan dan program Pemilu Legislatif yang tidak
proporsional yakni RCTI, MNC TV, Global TV, TV One, ANTV, dan Metro TV,
sedangkan menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden difokuskan pada
pemantauan atas TV One dan Metro TV.
Pelanggaran penyiaran sejak September
2013 hingga sekarang, katanya, bisa diakumulasikan dan berdampak pada
sanksi yang akan diberikan kepada televisi swasta.
“Ketika dievaluasi oleh Kementerian
Kominfo, dilihat dulu track record akumulasi pelanggaran yang
dikeluarkan KPI untuk menjadi catatan dari Kementerian,” kata Fajar.
Sementara itu organisasi profesi
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
menyatakan tidak memihak pada capres dan cawapres manapun sebagai
bentuk netralitas.
Sekjen PWI Pusat Hendry Ch. Bangun
menyatakan bahwa keberpihakan seorang wartawan terhadap calon tertentu
merupakan pelanggaran kode etik karena seharusnya pers bersikap objektif
dan independen dalam menjalankan fungsi jurnalistiknya.
Ketua AJI Jakarta Umar Idris mengatakan
wartawan boleh dekat dengan capres dan cawapres tetapi harus tetap
objektif, kritis, dan tidak mengalami tekanan ketika menuliskan berita.
“Kritis perlu agar mampu menilai kebijakan apa yang salah dan harus berimbang dalam pemberitaan,” katanya. (*)
Editor: Ella Syafputri
0 komentar:
Posting Komentar